
5NEWS.CO.ID, – Virus corona telah memberikan begitu banyak masalah di dunia sehingga hampir tidak mungkin untuk melacak semuanya. Meski begitu, ada baiknya meluangkan waktu sejenak untuk melihat situasi yang dihadapi salah satu kelompok paling rentan di planet ini. Mereka telah dianiaya, difitnah dan diteror. Sekarang, mereka bersiap menghadapi virus dengan perlindungan minimal.
Pada musim panas 2017, militer Myanmar melancarkan kampanye teror terhadap kelompok etnis yang dikenal sebagai Rohingya, memaksa sekitar 700.000 orang dari mereka melintasi perbatasan menuju negara tetangga Bangladesh.
Elit penguasa Myanmar yang mayoritas beragama Buddha telah lama mendiskriminasi Muslim Rohingya, memperlakukan mereka sebagai kehadiran orang asing yang jahat di tengah-tengah negara itu meskipun sebagian besar telah tinggal di sana selama beberapa generasi.
Gelombang penganiayaan berkala itu telah mengirim banyak orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan pada dekade sebelum kekejaman tahun 2017 dimulai.
Hari ini, 850.000 Rohingya hidup dalam kondisi kesulitan yang tak terbayangkan di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Berjejalan bersama di tempat penampungan sementara kecil yang terbuat dari bambu dan plastik, banyak pengungsi sudah menderita gizi buruk, gangguan sistem kekebalan tubuh dan penyakit paru-paru.
Pekan lalu, pengujian mengungkapkan seseorang yang terinfeksi virus corona di kota Cox’s Bazaar, hanya beberapa mil dari kamp.
Kelompok-kelompok kemanusiaan membunyikan alarm. Komite Penyelamatan Internasional, sebuah kelompok amal, baru saja merilis penelitian yang memperingatkan bahwa ada 19 infeksi di kamp-kamp pengungsi di seluruh dunia, khususnya yang dihuni oleh Rohingya, hampir pasti akan menyebar jauh lebih cepat daripada di kapal pesiar Diamond Princess yang terkenal itu.
Penemuan kasus covid-19 pertama di dekat kamp-kamp mendorong pihak berwenang di Bangladesh yang notabene merupakan salah satu negara paling miskin di dunia harus siap dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi karena mereka tidak memiliki dana yang memadai untuk menghadapi wabah apapun.
Bahkan, penduduk harus antre untuk makanan dan perawatan medis, sehingga meningkatkan paparan penyakit.
Thomas Lee, seorang dokter di UCLA Medical Center di Los Angeles dan pendiri Community Partners International, salah satu kelompok bantuan yang membantu menjaga perawatan kesehatan bagi para pengungsi, menjelaskan bahwa merawat pasien dengan jumlah besar akan lebih rentan terinfeksi.
Menjadi tantangan yang jauh lebih besar di lingkungan di mana sudah tidak ada sumber daya yang cukup untuk berkeliling melakukan pengobatan.
“Hanya ada beberapa ratus rumah sakit dengan populasi hampir satu juta orang,” katanya, seraya menambahkan bahwa banyak penduduk sudah menderita radang paru-paru dan penyakit pernapasan lainnya, meningkatkan kerentanan mereka terhadap virus corona.
Lebih buruknya lagi, otoritas Bangladesh memutuskan kembali untuk menutup akses Internet seluler ke kamp-kamp, yang secara efektif memotong para pengungsi dari informasi kesehatan yang sangat dibutuhkan, informasi merupakan salah satu alat paling penting dalam memerangi pandemi.
“Berbagai kelompok masyarakat sipil Rohingya telah bekerja keras untuk menyebarkan kesadaran,” kata Yasmin Ullah dari Jaringan Hak Asasi Manusia Rohingya, yang mengunjungi kamp-kamp pada akhir Februari. “Tetapi Anda harus memilih anggota masyarakat yang dapat menyebarkan informasi dan itu membutuhkan pertemuan. Anda harus pergi dari pintu ke pintu. Hal tersebut tentu saja bertolak belakang dengan kebijakan social distancing yang diterapkan di hampir seluruh negara saat ini,” ujarnya
Tun Khin, dari Organisasi Rohingya Burma Inggris, mengatakan bahwa ia dan para aktivis lainnya mengerti betul bahwa Bangladesh harus memprioritaskan warganya sendiri dengan sumber daya yang terbatas.
“Tetapi setidaknya mereka dapat menghapus semua pembatasan dan birokrasi yang memenghambat agen internasional dan agen domestik melakukan apa yang mereka bisa untuk mempersiapkan ketika virus menyerang kamp. Mengangkat pemadaman internet di kamp adalah salah satu hal pertama yang bisa dilakukan pemerintah,” ujarnya. (mra)