Penulis: Anis Sholeh Ba’asyin
Suatu saat seorang fakir memohon kepada seorang sufi agar sudi menerangkan Nama Yang Paling Agung, yaitu Nama Allah yang keseratus, karena manusia yang mengenal Nama Allah yang keseratus dapat membuat kejaiban-keajaiban serta mengubah perjalanan hidup dan sejarah.
Berkata sang sufi “Sesuai kebiasaan, aku harus memberimu ujian untuk mengukur kemampuanmu. Pergilah engkau ke gerbang kota, tinggallah di sana hingga matahari terbenam! Setelah itu kembalilah kepadaku, dan ceritakan apa yang engkau saksikan di sana!”
Dengan senang hati si fakir melakukan apa yang diperintahkan. Setelah matahari terbenam kembalilah ia kepada sang sufi.
“Seperti engkau suruh, aku telah tinggal di gerbang kota dengan kewaspadaan penuh. Peristiwa paling mengesankan adalah mengenai seorang tua yang ingin masuk ke dalam kota sambil memikul kayu bakar. Penjaga gerbang mendesak agar ia membayar pajak sesuai nilai barang yang dibawanya. Karena tidak mempunyai uang, orang tua itu memohon agar dia diijinkan menjual kayu bakarnya terlebih dahulu. Setelah menyadari bahwa si orang tua tidak punya kawan dan tidak berdaya, maka penjaga gerbang merampas seluruh kayu bakarnya dan mengusirnya dengan pukulan-pukulan yang keras!”
Sang sufi bertanya “Bagaimanakah perasaanmu ketika menyaksikan peristiwa itu?”
Si fakir menjawab “Semakin berkobarlah keinginanku untuk mengetahui Nama Yang Paling Agung. Seandainya aku telah mengetahui Nama itu, niscaya bencana tadi tidak akan menimpa si orang tua yang malang dan tak bersalah tersebut!”
Sang sufi berkata “Wahai manusia yang ditakdirkan untuk mencapai kebahagiaan, Nama Allah Yang Keseratus adalah pengabdian seumur hidup kepada ummat manusia. Guruku tidak lain adalah orang tua pembawa kayu bakar yang telah engkau saksikan siang tadi di gerbang kota!”
Kisah ini sejalan dengan ungkapan yang konon adalah sebuah hadits qudsi, dimana dengan tegas Allah menyatakan: “Semua mahluk adalah keluargaKu. Mahluk yang paling aku cintai adalah yang paling penyayang pada mahluk lainnya, yang paling bersungguh-sungguh menyantuni keperluannya!”
Yang Tuhan dan Yang Bukan
Kenapa orang sibuk menghabiskan waktu untuk menjauhi yang bukan Tuhan? Kapan yang bukan Tuhan pernah wujud? Pertanyaan provokatif ini pernah diucapkan Abubakar as-Syibli, seorang sufi abad pertengahan dari Baghdad; sebagai reaksi terhadap kecenderungan ummat untuk mengeksklusifkan tindakan pengabdian pada Tuhan.
Memang, dalam apa yang dipercaya sebagai perjuangan ‘menemukan’ Tuhan, para agamawan hampir selalu terpancing untuk memilah realitas menjadi yang Tuhan dan yang bukan Tuhan. Pemilahan yang pada gilirannya menuntun mereka untuk menjauhi apa saja yang dalam persepsinya ‘dianggap’ bukan Tuhan, karena dianggap potensial menghalangi kejernihan ‘pertemuan’nya dengan Tuhan (pemilahan yang juga tampak dalam istilah ‘yang sakral’ dan ‘yang profan’ seperti dipopulerkan Mircea Eliade).
Perjuangan yang, setidaknya menurut as-Syibli, kalau mau ditelusur sampai titik terjauhnya, pada akhirnya justru selalu akan mengantarkan orang pada kesadaran bahwa tak pernah ada sesuatupun yang bukan Tuhan. Bahwa apa yang kita persepsi sebagai realitas, sejatinya adalah wujud penampakan Tuhan, adalah wajah Tuhan itu sendiri. “Kemanapun kau menghadap, di situ terlihat Wajah Allah” (QS 2:115).
Mestinya inilah esensi agama dan keberagamaan. Yakni mengantarkan manusia pada kesadaran ilahiah bahwa semesta adalah wujud wahidiyah Tuhan; wujud keunikan Tuhan yang sama, yang secara hirarkis menggejala dalam beragam bentuk dan ukuran. Bahwa tak ada siapapun yang kita temui kecuali kehadiran Tuhan, tak ada apapun yang kita lihat kecuali sapaan Tuhan, tak ada apapun yang kita dengar kecuali pembahasaan Tuhan.
Kesadaran semacam inilah yang membuat manusia mampu mengoperasionalkan fungsi kekhalifahannya dengan menyayangi dan menyantuni ‘keluargaNya’ tanpa lagi tersekati oleh tembok-tembok sosial, ekonomi, politik, budaya maupun agama.
Menjadi Nama Keseratus
Kalau orang ‘melihat’ Tuhan dalam perspektif ini, ucapan takbir ‘Allahu Akbar’ (Allah yang maha agung) yang diucapkan ketika mengakhiri bulan Ramadlan, tentu tak akan dipahami dalam konteks perbandingan, karena betapapun tak ada yang maujud selain Dia.
Takbir justru akan dibaca sebagai pernyataan penghapusan segenap persepsi dan konstruksi nalar partikularistik yang memilah-milah realitas menjadi yang Tuhan dan yang bukan Tuhan; menuju ke kesadaran universal, kesadaran yang menyemesta. Kesadaran yang mengantarkan kita untuk selalu tunduk, mengakui bahwa Dia lebih agung dari apapun yang kita persepsikan dalam konstruksi nalar kita.
Memang, pada dasarnya, keterjebakan kita untuk selalu membangun pengertian-pengertian partikularistiklah, yang selama ini menyebabkan kita gagal menakbirkanNya. Kita terlanjur terdidik memandang realitas lewat kacamata sempit kepentingan aktual, kacamata sempit satuan budaya, politik, ekonomi, sosial tempat hidup kita; maupun kacamata usang yang begitu saja kita abadikan dari masa silam. Inilah yang selalu menggagalkan kita untuk melihat semesta sebagai wajahNya, dan pada gilirannya menggagalkan kita untuk menyikapi segenap mahluk sebagai ‘keluargaNya’.
Kalau puasa kita pahami sebagai saat untuk benar-benar tenang, seperti air atau angin yang tidak bergerak, atau menahan diri (sesuai dengan pengertian shaum); maka di satu sisi, ia akan menjadi ruang reflektif dan kontemplatif yang memberi kesempatan bagi kita untuk membakar atau menghapus (salah satu makna kata Ramadlan) segenap kacamata partikularistik yang -sadar atau tidak- terlanjur terbangun dalam diri kita.
Sementara di sisi lain, ia juga akan memberi kita kesempatan mengasah (makna lain kata Ramadlan) untuk mengembangkan kesadaran universal, yang mampu melihat semesta sebagai wajahNya dan segenap mahluk sebagai keluargaNya.
Karena itu, kemenangan dalam menundukkan diri sendiri ini, kemenangan dalam menyingkirkan kekuasaan konstruksi nalar partikularistik ini, justru kita rayakan dengan takbir, dengan mengagungkan Allah; dan bukan mengagungkan diri sendiri, kelompok atau apapun yang biasa kita agungkan dalam hidup kita.
Dengan begini, Allah-lah yang menang; bukan diri, kelompok, persepsi atau keyakinan kita. Dan, sudah pasti, kemenangan Allah secara operasional sekaligus berarti kemenangan bagi ‘keluargaNya’.
Artinya dengan cara ini, puasa menjadi sarana yang mengantar kita untuk menemukan NamaNya yang keseratus, yang membuat kita siap merangkul, menyayangi dan menyantuni ‘keluargaNya’ yang nota bene bukan saja berbeda-beda suku, ras, golongan, budaya; tapi juga berbeda agama dan atau mungkin malah menolak agama itu sendiri. Inilah jalan sunyi sejati, jalan orang-orang yang selalu berada di pihak Allah.
Kalau Idulfitri, selemah apapun, tak kita masuki dengan kesadaran semacam ini, boleh jadi itu karena kita memang tak benar-benar berminat membakar, menghapus atau mengasah apapun selama Ramadlan. Jangan-jangan ini karena puasa Ramadlan kita, seperti yang pernah diingatkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, hanya berhenti pada lapar dan dahaga belaka.
Tak mengherankan bila hasilnya bukan kasih sayang dan santunan bagi ‘keluargaNya’; tapi, sama seperti yang sudah-sudah, tetap saja tumpukan bencana dan rentetan kekerasan sosial budaya yang hampir tanpa jeda kita produksi dan kita sorongkan ke wajahNya dan keluargaNya.
Sumber: http://sulukmaleman.com