New York, 5News.co.id – Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (ًPBB) mengesahkan sebuah resolusi yang mengutuk Israel karena penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap warga sipil Palestina dan mendesak Sekjen PBB Antonio Guterres untuk segera menerapkan sebuah ‘mekanisme perlindungan’ bagi warga sipil Palestina.
Baca Juga: Tuai Kecaman Internasional, Rezim Penjajah Israel Tuding Indonesia Munafik
Dilansir dari kantor berita Reuter, dalam Sidang Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat pada Rabu (13/6) kemarin, resolusi itu memperoleh dukungan 120 suara, 8 menentang dan 45 abstain, setelah sebelumnya Amerika Serikat memveto resolusi serupa di Dewan Keamanan PBB pada awal bulan ini.
Amerika Serikat gagal dalam upayanya untuk mengubah teks resolusi itu, dengan memasukan sebuah paragraf yang mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh Hamas.
Baca Juga: Tentara Israel Kembali Tembak Mati Warga Palestina Dari Dekat
Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, mengatakan dalam Sidang Umum sebelum pemungutan suara dilakukan bahwa resolusi itu berat sebelah karena tidak menyebutkan Hamas sebagai teroris yang secara ‘rutin’ memulai kekerasan di Gaza.
Sementara itu, Duta Besar Israel Danny Danon mengatakan kepada Majelis Umum sebelum pemungutan suara., “Dengan mendukung resolusi ini Anda telah bekerjasama dengan organisasi teroris Hamas,” katanya.
Australia, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Kepulauan Solomon dan Togo bergabung dengan Israel dan Amerika Serikat dalam pemungutan suara menentang resolusi.
Baca Juga: Inilah Empat Fokus Kerja Indonesia Sebagai Anggota Dewan Kemanan PBB
Di tengah kecaman internasional atas penggunaan kekuatan mematikannya, Israel mengatakan, mereka yang tewas adalah militan dan tentara Israel ‘hanya’ menghalau serangan di perbatasan Gaza. Washington mendukung hak Israel untuk membela diri dan menolak untuk bergabung dalam mendukung resolusi untuk pengendalian Israel.
Lebih dari 120 warga Palestina telah dibunuh oleh tentara Israel dalam gelombang protes di perbatasan Gaza sejak 30 Maret lalu. Tercatat jumlah kematian terbesar terjadi pada 14 Mei, hari ketika Amerika Serikat memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Palestina dan negara-negara pendukungnya mengatakan sebagian besar pengunjuk rasa adalah warga sipil tak bersenjata dan Israel telah menggunakan kekerasan berlebihan terhadap mereka.
Baca Juga: Keuntungan Indonesia Sebagai Anggota Dewan Keamanan PBB
Utusan Palestina Riyad Mansour mengatakan kepada Majelis Umum bahwa bangsa Palestina membutuhkan perlindungan bagi penduduk sipilnya. Mansour juga berharap resolusi itu dapat memberi pengaruh dalam ‘mendinginkan’ situasi yang sedang bergolak.
“Kami tidak bisa diam saja menghadapi kejahatan paling kejam dan pelanggaran hak asasi manusia yang secara sistematis dilakukan terhadap rakyat kami,” kata Mansour.
Baca Juga: PMRC: Menembak Personel Medis Adalah Kejahatan Perang
Pada bulan Desember 2017 lalu, 128 negara menentang Presiden Donald Trump dan memberikan suara mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang meminta Amerika Serikat untuk membatalkan pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.(hsn)