(Seri Bijak Bermedsos)
Penulis: Umar Husain
Hoax sebagaimana yang kita pahami, adalah sebuah cara untuk mengelabui masyarakat atau sekelompok orang dengan informasi palsu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa disinformasi adalah penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Yang perlu diperhatikan adalah unsur kesengajaan dalam kegiatan disinformasi ini. Sengaja berarti memiliki motif dan tujuan. Pelakunya pasti memiliki alasan dan tujuan dalam menyebarkan disinformasi itu.
Sekaitan dengan warna warni kehidupan bermasyarakat di negara kita, disinfomasi atau hoax kita temukan hampir di semua bidang kehidupan sosial kita. Apa alasan mereka yang sengaja menebar hoax? Apa tujuannya?
Dalam sistem otak dan saraf manusia, terdapat sebuah sensor yang bernama Hippocampus. Hippocampus merupakan komponen utama dari otak yang dimiliki manusia yang memiliki peranan yang sangat penting dalam konsolidasi informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang serta berperan dalam navigasi spasial.
Sesuai fungsi normalnya bagian ini selalu menerima informasi yang dikirimkan oleh panca indera, kemudian mengolahnya menjadi memori jangka pendek. Setelah memori tersusun, dia akan mengirimkan sinyal ke bagian-bagian otak yang lain,untuk menentukan sikap dan memandu badan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Bagaimana jika keadaan sekitar dimanipulasi dan dipalsukan agar otak manusia atau sekumpulan manusia ‘beradaptasi’ sesuai dengan yang diharapkan. Memori jangka pendek sekumpulan manusia yang terus menerus menerima informasi palsu atau hoax, akan menghasilkan persepsi buatan sesuai dengan info yang terimanya. Fisiknya juga dipersiapkan untuk beradaptasi sesuai dengan persepsinya itu.
Dari pengamatan saya, para ‘progammer’ hoax itu orang-orang jenius. Contohnya dalam bidang keagamaan baru-baru ini. Sebelum ‘menyerang’ kelompok tertentu, mereka terlebih dulu membangun persepsi ‘syirik’. Yang mana jargon ini dikaitkan dengan tradisi-tradisi yang telah berlangsung turun temurun di tanah air kita.
Tak peduli dibilang ngawur, ‘nggedabrus’, asal njeplak dsb, terus aja disetiap pengajian mereka bersuara bak beo yang pandai ngomong, dengan sebuah jargon yang sama, yaitu bahaya ‘syirik’.
Ziarah kubur disebut syirik, menyimpan azimat syirik, sedekah bumi syirik, sedekah laut apalagi. Pokoknya semua syirik. Syirik tadi akan diterima oleh memori jangka pendek manusia sebagai sebuah ancaman terhadap keyakinannya. Ketika dirasa sudah ‘cukup’ dan persepsi buatan sudah tercetak dalam memori ‘umat’ yang ‘dibimbing’nya, maka test case perlu dilakukan.
Diujlah umat yang dipandunya itu dengan sebuah tantangan. Beranikah mereka merusak sebuah kegiatan ‘syirik’ seperti sedekah laut agar akidah mereka tidak terancam? Sontak umat yang telah menganggap sedekah laut adalah ancaman bagi akidah’ mereka akan bangkit dan memporak-porandakannya.
Dalam lingkup yang lebih luas, daya rusaknya juga akan semakin besar. Sejarah menceritakan bagaimana Perang Dunia II meletus disebabkan oleh sebuah hoax yang dibuat oleh tentara Jerman. Perang itu merenggut korban lebih dari 62 juta jiwa, harga yang terlalu tinggi untuk membuat penduduk bumi sadar akan bahaya hoax.
Saat ini, medsos menjadi ajang bersliweran hoax dengan beragam variasinya. Semoga perjalanan kelam hoax yang telah memakan jutaan nyawa itu menjadikan kita lebih bijak dalam menerima dan berbagi informasi, terutama di medsos….amin