
WASHINGTON, 5NEWS.CO.ID,- Sejarah kelam kehidupan sebagai pengungsi perang, mengharuskannya berpindah-pindah tempat tinggal. Bersama orang tuanya, Mayen kecil ikut berkelana sejauh 250 mil demi menghindari konflik politik di negara asal, Sudan Selatan.
Trauma akibat kelaparan, suara rentetan tembakan, bom, bahkan serangan hewan liar Afrika yang mengancam jiwa. Hingga orang tua yang menelantarkan anaknya sebab tak sanggup lagi merawat akibat perang, sangatlah jamak terdengar. Ironis, itulah kata yang tepat menggambarkan wajah para pengungsi perang seperti dirinya.
“Banyak orang tidak mengerti perjalanan seorang pengungsi perang, perjalanan pengungsi perang adalah perjalanan antara hidup dan mati,” tegasnya.
Lual Mayen, menghabiskan 22 tahun tinggal di sebuah kamp pengungsi di Uganda Utara. Perjalanan panjang sebagai pelarian dan dalam usahanya mencari status, terbayar lunas usai mendapatkan suaka hingga menjadi warga negara AS.
Biografi masa lalu ter-rekam dengan jelas. Pengalaman pahit itu dituangkannya dalam ide cerdas dan kreatif, yang menginspirasi sisi lain seseorang sebagai manusia.
Ia telah berhasil menciptakan Game dan dinamai ‘Salaam’, (Arab) yang berarti Keselamatan. Diharapkan, karyanya akan memberi pemahaman kepada para pemain tentang arti hidup sebagai pengungsi.
“Salaam akan menjadi game pertama yang menjembatani dalam dunia virtual dan kenyataan di lapangan. Banyak orang yang tidak memahami perjalanan seorang pengungsi,” ungkap Mayen, dalam sesi tanya jawab dengan C-SPAN, Minggu (9/2/20).
Meski game tersebut gratis, pemuda 25 tahun itu menyebut, bahwa perlengkapan seperti air, makanan dan obat-obatan harus dibeli para pemain sebagai karakter virtual mereka. Hal tersebut dapat dijalankan dalam aplikasi yang terkoneksi dengan saluran donasi bagi para pengungsi di dunia nyata.
“Ketika seseorang membeli makanan dalam game, sebenarnya ia telah membelikan makanan bagi seseorang di kamp pengungsi,” terangnya. (h@n)