
Penulis: Danny Haiphong
Alih Bahasa: Umar Husain
Pada tanggal 15 Mei lalu, Palestina dan negara sahabat di seluruh dunia memperingati Hari Nakba yang ke-72. Hari Nakba bisa disebut sebagai hari ulang tahun berdirinya negara Zionis Israel.
Pada tahun ini, peringatan Hari Nakba kebetulan bertepatan dengan pandemi virus corona di seluruh penjuru bumi. COVID-19 telah merenggut nyawa ratusan ribu orang dan membawa jutaan lainnya ke jurang kehancuran ekonomi. Membasmi COVID-19 serta menghancurkannya, dalam banyak hal, berkaitan erat dengan penjajahan rezim Zionis yang masih berlangsung di Palestina hingga saat ini.
Hari Nakba melambangkan penindasan keji penjajah Israel terhadap rakyat Palestina. Tak heran, bangsa-bangsa di dunia bersimpati pada Palestina dan menempatkan Zionisme sebagai jenis virusnya penyakit. Tagar #COVID1948 sempat melambung di Twitter saat peringatan Hari Nakba. Para pengguna Twitter membagikan tagar itu untuk membuat perbandingan antara Zionis dan COVID-19 .
Virus kolonial Zionisme mencapai fase paling mematikan setelah Perang Dunia II. Antara tahun 1947 hingga 1949, sekitar 800.000 warga Palestina diusir dari rumah-rumah mereka oleh tentara Zionis. Seandainya orang-orang Palestina tidak melarikan diri kala itu, mereka pasti akan dibantai. Saat ini, setidaknya 13.000 warga Palestina terbunuh dalam rentang waktu yang sama.
Hari Nakba merupakan puncak dari kebijakan kolonial Inggris dengan menjual tanah air Palestina kepada ras Yahudi. Eufemisme bagi pemukim Zionis yang telah berhasil membangun kerajaan kolonial mereka di jantung dunia Arab.
Sebenarnya, tanggal 15 Mei hanyalah tanda saat kolonial Zionis mencoba mendeklarasikan negara Israel yang berdiri diatas tanah yang mereka rampas dari bangsa Palestina melalui bantuan kekuatan Barat di PBB. Sejak itu, penyebaran virus Zionis menjadi sangat keras dan sangat merusak bagi rakyat Palestina.
Setelah kehilangan sekitar 80 % wilayahnya, rakyat Palestina masih harus kehilangan 20% sisanya akibat agresi Zionis di Nakba. Hal itu terjadi setelah kekalahan bangsa Arab dari Israel dalam perang pada tahun 1967. Pemukiman Zionis di Tepi Barat terus berlanjut, sementara warga Palestina di Jalur Gaza harus hidup dalam kondisi yang sama sekali tidak layak bagi kehidupan manusia.
Sejak tahun 2000 saja, pasukan Zionis tercatat telah membunuh 10.000 nyawa warga Palestina, termasuk lebih dari 1.000 nyawa anak-anak dan bayi. Ribuan warga Palestina yang menjadi tahanan politik pun masih mengerang di penjara-penjara Israel .
Semua itu berkat ketundukan dan dukungan tanpa syarat Amerika Serikat (AS). Bantuan AS untuk Israel sejak 1948 tercatat sekitar 142 miliar USD. Selain itu, Israel juga mendapat perlindungan penuh berupa kekebalan diplomatik di panggung politik.
Meskipun bukti-bukti secara jelas dipaparkan, kejahatan perang Israel seperti pembersihan etnis, genosida, dan komisi kejahatan perang, tidak pernah diproses apalagi dihukum oleh Pengadilan Kriminal Internasional atau badan PBB lainnya.
Bertepatan dengan merebaknya COVID-19, Israel juga menggunakannya sebagai alasan untuk mencaplok lebih banyak lagi tanah Palestina di Tepi Barat. Tak hanya itu, Zionis bahkan meningkatkan blokade yang membuat ekonomi warga Palestina di Gaza lumpuh total. Oleh sebab itu, Palestina dan bangsa-bangsa lain di dunia saat ini sedang berjuang melawan dua virus.
Yang pertama adalah virus kolonialisme Zionis. pemukim Israel, selain merampas dan menempati tanah milik warga Palestina secara ilegal, mereka juga mendapat restu dan dukungan penuh AS. Selaku induk semang Israel, AS juga dikenal dengan kebijakan imperialisnya yang destruktif. Suriah, Iran, Irak, dan Libya adalah negara sahabat Palestina yang didestabilisasi atau ditempatkan di bawah blokade dan permusuhan sengit AS, Israel, dan sekutu mereka.
Virus kedua adalah COVID-19. Dalam memerangi pandemi, warga Palestina di Tepi Barat terpaksa harus pasrah pada penjajah mereka. Karena saat ini, Palestina pada dasarnya tidak memiliki negara mereka sendiri. Otoritas Palestina hanya memiliki yurisdiksi di bagian Tepi Barat yang ditetapkan oleh penjajah mereka. Selain itu, pihak berwenang Palestina, terutama pasukan keamanannya, bisa dikatakan tidak memiliki otonomi.
Dalam hal ini, Israel sepenuhnya bertanggung jawab dalam penetapan langkah-langkah penanggulangan COVID-19, seperti menetapkan social distancing, menyediakan pasokan medis dan kebutuhan pokok lainnya. Di saat yang sama, para pejabat Israel membanggakan keberhasilan dalam menghentikan penyebaran virus di kota-kota yang mereka duduki.
Berulang kali Palestina menyuarakan keprihatinan bahwa virus corona telah menyebar nyaris tak terdeteksi lantaran kurangnya fasilitas pengujian. Di bawah pendudukan Zionis, kemampuan Palestina menghadapi COVID-19 hampir mustahil.
COVID-19 dan Zionisme adalah dua virus yang memerlukan obat yang sama. Mengakhiri kolonialisme dan seluruh bentuk kekerasan warisan Perang Duni II di abad 21 ini merupakan satu-satunya jalan menuju pemulihan dari wabah Zionis.
Kolonialisme Israel di Palestina adalah pengingat bahwa prinsip penentuan nasib sendiri belum diterapkan secara merata di antara bangsa-bangsa. Zionisme harus disingkirkan dari tuannya. Ini berarti bahwa rakyat Palestina harus diberikan otonomi penuh melalui negara merdeka sebagaimana seharusnya.
Keberhasilan negara-negara yang sebelumnya berstatus kolonial atau semi-kolonial dalam menahan pandemi COVID-19 menjadi bukti nyata. Vietnam. negara yang merdeka pada tahun 1975 setelah mengalahkan Amerika Serikat melaporkan 0 kematian akibat COVID-19 karena respon yang cepat terhadap penyebaran virus di Cina.
China, negara pertama yang melaporkan virus baru itu, menyelamatkan ratusan ribu nyawa dengan menggunakan negara dan organisasi massa yang sangat besar untuk menguji dan mengkarantina warga yang tinggal di pusat kota yang padat.
Sementara Venezuela, negara yang secara ekonomi masih rentan karena sanksi AS, hanya kehilangan sepuluh orang melalui tindakan karantina massal yang efektif dan mobilisasi rakyat dalam menahan virus corona.
Kekuatan kolektif diperlukan untuk menyingkirkan transmisi mematikan COVID-19. Hal yang sama juga dibutuhkan guna menahan ekspansi mematikan Zionisme. Kedua hal itu tidak dapat dicapai secara terpisah.
Hari Al-Quds telah tiba, upaya membangun solidaritas bagi rakyat Palestina harus ditingkatkan secara masif. Rakyat Amerika dapat menunjukkan solidaritas mereka kepada bangsa Palestina dengan menekan pemerintahnya agar menarik dukungan militer dan bantuan ekonomi kepada Israel.
Tekanan yang sama seharusnya juga meluas ke ranah agresi AS di luar negeri yang melemahkan sekutu Palestina seperti Suriah dan Iran. Rakyat harus menuntut pemerintah AS agar segera menghentikan hegemoni kawasan yang bertujuan untuk memperluas kolonialisme Israel di Timur Tengah.
Penduduk asli Amerika dan Amerika Hitam adalah dua entitas yang terpasung oleh kolonialisme AS selama berabad-abad. Mereka juga yang terkena dampak paling parah oleh COVID-19. Lebih jauh, kekerasan, represi negara, dan kesenjangan ekonomi juga terus melaju membentuk kehidupan tak manusiawi kedua kelompok ini.
Sebuah gerakan menentukan nasib sendiri negara-negara bagian di Amerika harus mengarah pada situasi di mana pemerintah AS akan berpikir dua kali terkait ketindukan dan dukungan penuhnya untuk ekspansionisme Israel yang mematikan itu.
Hal ini juga akan memberi rakyat Palestina dan semua orang yang tertindas di muka bumi ruang bernafas untuk mengatasi pandemi global seperti COVID-19 dan perusakan lingkungan. Setiap krisis pasti muncul dari kontradiksi yang tak terhitung banyaknya yang telah diwarisi penduduk dunia dari kapitalisme global dan gerakan imperialisnya. Perjuangan bagi kebebasan dan penentuan nasib sendiri di Palestina menjadi isu penting dalam gerakan yang lain lebih luas untuk menyelesaikan kontradiksi ini di masa yang akan datang.
Artikel ini telah tayang di American Herald Tribune pada tanggal 19 Mei 2020.