
5NEWS.CO.ID,- Belakangan, terjadi perlawanan dari kaum tradisionalis di Sumatera Barat terhadap gerakan wahabi yang berbasis di Saudi Arabia. Kaum tradisionalis ini berasal dari sekte Asy’ariyah yang dicirikan oleh pemahaman aqidah Asy’ari, bermadzhab fiqh Syafii, dan menjalankan tarekat. Umumnya tarekat di Sumatera Barat ialah Naqsabandi dan Syattari.
Sebaliknya, gerakan Wahabi adalah gerakan yang muncul pada abad ke 18 di Najd. Sekte ini dicirikan oleh pemahaman aqidah yang dirumuskan olah Muhammad Ibn Abdul Wahab, tidak terikat pada satu madzhab fiqh, dan tidak bertarikat.
Gerakan Wahabi beraliansi dengan seorang kepala suku di Najd bernama Muhammad Ibn Su’ud. Aliansi mereka ini melalui proses yang panjang akhirnya berhasil melepaskan diri dari cengkraman Turki Utsmani dan mendirikan sebuah kerajaan di Najd. Memanfaatkan kejatuhan Turki, kerajaan ini terus memperluas kekuasaannya ke Hijaz mendepak dinasti Syarif Mekkah keturunan Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib.
Setelah menguasai Hijaz, mereka namakan kerajaan mereka sebagai kerajaan Hijaz dan Najd yang belakangan berubah nama menjadi Kerajaan Arab Su’udi (Arab Saudi). Tentu saja, ideologi yang mereka pakai ialah ideologi Wahabi.
Di dunia Islam, gerakan Wahabi ini berkembang. Posisi Arab Saudi yang menguasai Hijaz menjadi suatu keuntungan bagi gerakan Wahabi. Di Hijaz-lah terletak Kota Mekkah, kota yang menjadi kiblat kaum muslimin. Sehingga, terbangun kesan bahwa Islam yang otentik adalah apa yang ada di Mekkah itu. Wahabi sebagai penguasa Hijaz (dan tentunya Mekkah) mendapatkan peluang untuk dikesankan sebagai Islam yang otentik. Sedangkan Islam yang tak serupa dengan Islam Mekkah yang sudah dikuasai Wahabi dikesankan tidak otentik.
Seiring waktu gerakan Wahabi meluas ke berbagai tempat di dunia. Tak ketinggalan di Sumatera Barat. Ciri khas gerakan ini ialah puritanisasi. Jargon utamanya adalah kembali kepada Alqur’an dan Sunnah dan menolak segala sesuatu yang baru yang (menurut mereka) tidak berasal dari Quran dan Sunnah. Gerakan mereka ini berbentuk gerakan keagamaan berupa pengajian di mesjid-mesjid, gerakan sosial, hingga ke pembentukan lembaga pendidikan.
Sepak terjang gerakan ini membentur tradisi keagamaan yang telah tumbuh sebelumnya. Salah satunya adalah dengan tradisi sekte Asy’ari. Di kalangan umat Islam ada hadits yang mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Dari 73 itu, hanya 1 yang selamat. Sisanya tidak selamat di akhirat. Golongan itu ialah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Baik kaum Wahabi maupun kaum Asy’ari sama-sama mengklaim sebagai kelompok yang dimaksudkan sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah itu. Sebenarnya tidak mereka saja. Semua sekte dalam Islam mengklaim sebagai Ahlus Sunnah. Semuanya mengklaim diri sebagai sekte yang selamat. Hanya saja, karena penganut sekte Asy’ari adalah mayoritas, lama-kelamaan nama Ahlus Sunnah Wal Jamaah ini menjadi label mereka sehingga mereka dinamai sebagai golongan Sunni.
Perebutan narasi tentang siapa yang Ahlus Sunnah inilah yang menjadi pangkal pertelingkahan antara kaum Asy’ari dan Wahabi belakangan. Sunnah, menurut kaum Asy’ari tidak dapat dipahami begitu saja tanpa interpretasi para sarjana. Interpretasi inilah yang kemudian membentuk Madzhab dan Madzhab inilah yang menjadi rujukan bagi awam.
Sebaliknya menurut Wahabi, interpretasi terhadap Sunnah itu bukanlah Sunnah itu sendiri. Bahkan interpretasi itu sudah terpengaruh oleh hal-hal yang berasal dari luar Islam. Para sarjana generasi awal menurut kalangan Wahabi terpengaruh oleh tradisi filsafat Yunani dan Persia. Pun kemudian amalan-amalan yang dirumuskan oleh para sarjana itu juga terpengaruh oleh tradisi-tradisi lokal yang bercampur dengan syirik, takhayul, dan khurafat. Hal-hal yang tercampur ke dalam Islam yang murni itu mereka sebut sebagai bid’ah.
Bagi Wahabi, persoalan bid’ah ini adalah concern utamanya. Salah satu hadits favorit mereka adalah “Kullu Bid’ah Dhalalah wa Kullu Dhalalah fin nar.” Artinya setiap bid’ah ialah sesat dan tiap yang sesat tempatnya ialah neraka.”
Jadi bila kaum Asy’ari bisa dikenali dari identifikasi diri mereka kepada Madzhab dan Tarekat, kaum Wahabi dapat dikenali dari isi diskursus mereka yang lazim membicararan bid’ah.
Dua pemahaman ini tidak dapat tidak akan berbenturan karena yang satu menafikan yang lain. Apalagi, dengan dukungan pendanaan dari kerajaan Saudi yang dahulu didirikan oleh aliansi Ibn Abd Wahab dan Ibn Suud, gerakan Wahabi memperoleh keuntungan tambahan.
Belakangan di Sumatera Barat tumbuh perlawanan dari kalangan tradisional Asy’ari terhadap gerakan Wahabi ini. Gerakan wahabi yang diterima di perkotaan belakangan mulai bersinggungan dengan kaum Asy’ari yang bertapak di daerah pedesaan. Reaksi-reaksi mulai terlihat beberapa tahun belakangan. Anak-anak muda yang terdidik dalam tradisi keagamaan Asy’ari mulai mengorganisasikan diri untuk membendung paham wahabi ini. Beberapa Buya mereka melakukan rally keliling untuk menjaga basis-basis mereka.
Dan salah satu battle ground itu ialah Payakumbuh. Payakumbuh mempunyai sub kultur keagamaan yang memang mudah dimasuki oleh gerakan wahabi. Apa itu? Saya punya hipotesis yang tampaknya tidak relevan dibagikan di note ini. Mungkin nanti kalau saya ada mood dan energi, akan dituliskan di note yang terpisah.
Dai-dai Asy’ari asal Payakumbuh belakangan mulai menghiasi media. Di antara mereka tampaknya mulai bergerak dari kampung ke kampung, surau ke surau, dan madrasah ke madrasah untuk menghidupkan kembali tradisi kaum Asy’ari dan menghadang gerakan Wahabi.
Sejauh ini “battle” ini masih bermartabat. Tidak terdengar adu fisik. Masih bertempur di media sosial. Kadang ada perdebatan, ada tantangan debat, dan ada yang menjawab tantangan debat itu. Walaupun belum terjadi perdebatan besar muka hadap muka yang dramatis itu.
Dan tiba-tiba sekarang, Saudi hendak membangun sebuah masjid megah di Sumatera Barat. Dan tempat yang dipilih ialah di Payakumbuh.
(Source: FB YH SUTAN MA’ROUF)
Saya baru tahu bahwa tulisan saya diambil ke sini.. Adakah minta izin kepada penulisnya?