
Penulis : Umar Husain
Perkembangan dunia digital memaksa pekerja media lebih memperhatikan nilai jual sebuah informasi. Kejar tayang, target dan tuntutan redaksi menjadi faktor lain yang membuat penulis fokus pada sisi komersial tanpa mengindahkan norma dan etika jurnalistik.
Tak jarang, berita yang dihasilkan tak jauh berbeda dengan informasi simpang siur di media sosial. Seorang jurnalis dinilai profesional, ketika ia memahami dan menjalankan tugas, fungsi, serta tanggungjawab profesinya dengan baik dan benar.
Profesionalisme jurnalis berkaitan erat dengan kapasitas, skill dan hal-hal lain dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai corong informasi publik. Dari segi kemampuan dan kemahiran, penulis dan jurnalis bisa saja memiliki level yang sama. Namun, norma dan etika membedakan seorang jurnalis profesional dan penulis lain.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Muhammad Thariq (2018) mengatakan, ada dua norma sebagai tolok ukur profesionalitas seorang jurnalis, yaitu norma teknis dan etis.
Norma teknis meliputi cara menghimpun berita dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting. Adapun norma etis meliputi kewajiban dan tanggung jawab jurnalis kepada masyarakat.
Rata-rata penulis memahami dan menjalankan norma teknis yang sama, yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyajikan informasi yang juga dikenal dengan 6M.
Penulis artikel advertorial cenderung menonjolkan keunggulan dari sebuah produk tanpa pernah mengungkap sisi negatif dari produk tersebut. Lain halnya dengan pengisi konten yang lebih memperhatikan kata kunci dalam artikelnya demi optimasi pencarian search engine. Tipe ini cenderung berorientasi pada keuntungan dan tidak merasa terikat dengan norma etis seperti Kode Jurnalistik (KEJ).
Berita tak berimbang acap kali menimbulkan berbagai masalah. Opini negatif yang terlanjur terbentuk akibat berita tersebut tidak mudah diubah melalui koreksi pemberitaan ataupun klarifikasi.
Sarah Wiggins dari Linklaters London mengatakan, penyebaran hoax bisa enam kali lebih cepat tersebar dibanding berita ‘normal’. Seperti wabah virus yang menjalar cepat dan sulit dikendalikan.
Selain menguasai kemampuan teknis seperti wawancara, jurnalis profesional harus memahami tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan berpegang teguh pada nilai-nilai baku
Jurnalis sejati memahami bahwa kode etik jurnalistik dibuat agar dirinya terhindar dari kesalahan dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Jurnalis profesional akan menyajikan informasi berimbang kepada publik. Crosscheck atau verifikasi data selalu diutamakan sebelum menyajikan sebuah informasi.
Dengan demikian, kesalahan dan kerugian dapat dihindarkan. Yang lebih penting, khalayak memperoleh informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sejumlah konsekuensi mengiringi status seorang jurnalis profesional. Untuk menjaga independensi saja dibutuhkan mentalitas serta dukungan dari media tempat dia bekerja. Perusahaan pers harus benar-benar memperhatikan kesejahteraan awak medianya. Dengan begitu, praktek suap yang kerap terjadi dapat dihindari.
Profesionalisme di bidang jurnalistik dapat dilihat dari intregitas dan kepekaan terhadap kebutuhan orang banyak. Hal ini tercermin dari karya yang dihasilkan seorang jurnalis.
Artikel ini dibuat saat penulis mengikuti Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang diselenggarakan AJI Indonesia pada tanggal 22-23 Februari 2020 di Kota Semarang, Jawa Tengah.