Intoleransi Agama dan Ketegasan Negara

Intoleransi Agama dan Ketegasan Negara
Gambar ilustrasi

Sidang kasus kekerasan bermotif intoleransi yang terjadi di Mertodranan, Pasar Kliwon, Solo memasuki tahap akhir. Hakim akan membacakan vonis hukuman bagi para pelaku kekerasan di acara doa nikah putri Habib Umar Assegaf. Sayangnya, pasal berlapis ditransformasikan menjadi tuntutan ringan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Kebebasan Beragama, antara HAM dan Konstitusi

Rentetan panjang kasus kekerasan bermotif radikalisme dan intoleransi di Indonesia menunjukkan tren negatif. Dari hari ke hari, kasus serupa terus terjadi di berbagai daerah. Para ahli dan pengamat menilai kurangnya ketegasan negara sebagai akar masalah dalam mengatasi persoalan ini.

Kelompok minoritas agama/keyakinan merasa tidak aman saat menjalankan ibadah. Padahal, UUD 1945 menegaskan kebebasan dalam beragama, berkeyakinan serta beribadah menurut agama/keyakinan masing-masing. UUD 1945 juga mewajibkan negara untuk melindungi hak-hak warga dalam konteks ini.

Sejak 2012, dilaporkan terjadi penyegelan terhadap 19 gereja di Aceh Singkil yang dilakukan pemerintah setempat. Peraturan Gubernur Tahun 2007 tentang Rumah Ibadah, juga disebut sebagai akar persoalan, mempersulit kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah di sana. Beberapa organisasi juga diadili, dengan tudingan “sesat”.

Di Provinsi Jawa Barat, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor yang jemaatnya kerap beribadah di depan Istana Negara, disegel oleh pemerintah daerah setempat sejak tahun 2012, hanya karena desakan dari kelompok intoleran.

Pada tahun 2015 terjadi insiden penembakan di Tolikara, Papua. Insiden bermula ketika ratusan orang mendatangi lokasi salat Ied di Lapangan Koramil dan memaksa umat Muslim segera membubarkan diri. Insiden itu meluas setelah massa membakar kios-kios sehingga musala yang berada di tengah kompleks kios ikut terlalap api.

Kapolri, yang saat itu dijabat oleh Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa polisi melakukan penembakan sebagai opsi terakhir dalam upaya menjamin konstitusi, yakni kebebasan beragama dan menjalankan ibadah. Dalam insiden itu, sebanyak 12 orang dilaporkan tertembak. Menurut kapolri, Larangan beribadah di Indonesia tergolong melanggar konstitusi.

“Saya menjelaskan di mana pun negara demokrasi tidak ada kegiatan ibadah dilarang. Itu ada dalam konstitusi dan hak asasi manusia (HAM),” kata Kapolri yang juga ditandaskan oleh Menteri Agama saat itu, Lukman Hakim Saifuddin.

Serentang tahun 2015 saja, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melaporkan terjadinya sejumlah pelanggaran HAM dengan latar belakang agama. Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) mencatat terjadinya sejumlah penyegelan, penutupan dan pelarangan terhadap rumah ibadah dan kegiatan beribadah.

Seperti dilansir situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), pelanggaran konstitusi terjadi dalam kasus penyegelan Masjid Al-Hidayah milik jemaat Ahmadiyah di Depok, Musala An-Nur di Bukit Duri Jakarta Selatan, penghentian pembangunan Masjid Nur Mushafir di Kupang, penutupan Musala As-Syafiiyah di Denpasar Bali. Khusus kasus di Bukit Duri, yang notabene di Jakarta, warga bersama lurah, ketua RW dan ketua RT setempat memaksa JAI Bukit Duri menghentikan seluruh kegiatannya. Anehnya, polisi tak melarang pemaksaan tersebut.

Serangan dilaporkan menimpa ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH. Umar Basri pada akhir Januari 2018 lalu. Menyusul kemudian serangan terhadap ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis, H. R. Prawoto, yang dilakukan orang tak dikenal hingga nyawanya tak dapat diselamatkan dan meninggal dunia. Di tahun yang sama, terjadi persekusi terhadap biksu Mulyanto Nurhalim di rumahnya di Legok, Tangerang, Jawa Barat yang berujung pada pengusiran dirinya.

Pasal Berlapis, Tinggal Selapis Tipis

Situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Semarang menginformasikan bahwa jaksa mengajukan tuntutan pelanggaran atas pasal 170 ayat 1 KUHP, pasal 160 KUHP, pasal 406 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP. Meskipun demikian, JPU hanya menggunakan satu pasal dalam KUHP, yaitu pasal 160 dan 170 KUHP saat membacakan naskah tuntutan bagi para terdakwa pelaku kekerasan acara doa nikah Midodareni di Pasar Kliwon, Solo, yang terjadi pada awal Agustus 2020.

Para terdakwa dituntut dengan hukuman sekitar 1-2 tahun penjara. Ringannya hukuman pelaku kekerasan bermotif intoleransi dan radikalisme agama dinilai turut merangsang terjadinya aksi-aksi serupa di Indonesia.

Ketegasan Negara Dibutuhkan

Ketua SETARA Institute, Hendardi menegaskan aparat keamanan hendaknya mewaspadai dan mencegah pola-pola gangguan keamanan yang menyasar tokoh-tokoh agama dan menggunakan sentimen keagamaan untuk memecah belah umat beragama dan menghancurkan kerukunan di tingkatan akar rumput.

“Aparat tidak boleh tunduk terhadap kelompok-kelompok intoleran dalam penegakan hukum itu. Lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus serupa di atas akan mengundang kejahatan lain yang lebih besar,” tegasnya.

Ia pula menuturkan, pemerintah, pemuka agama dan elite organisasi keagamaan harus melakukan tindakan konkret untuk menghentikan persekusi terhadap identitas keagamaan yang berbeda, khususnya atas mereka yang minor, umat agama yang sedikit.

Selain itu, pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas (Organisasi Massa) keagamaan sesuai otoritas masing-masing hendaknya mencegah dan menghentikan provokasi di ruang-ruang siar agama yang membangkitkan perasaan tidak aman, kebencian, dan kemarahan yang dapat memicu tindakan main hukum sendiri dan penggunaan kekerasan. (hsn)