Filosofi Lebaran Di Tengah Pandemi Covid-19

Filosofi Lebaran Di tengah Pandemi Covid-19

Penulis: Lintal Muna

Hari Raya Idulfitri merupakan kabar gembira bagi kaum muslim setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Setelah muslimin menahan rasa haus, lapar, dahaga, nafsu serta kenikmatan-kenikmatan yang menggiurkan hati manusia.

Implementasi hari raya Idulfitri identik dengan gema takbir yang membahana dengan lantunan nama-nama Allah. Di Indonesia, takbir keliling juga dinanti dan disambut hangat oleh semua kalangan masyarakat dari anak- anak sampai orang tua.

Keadaan jalan raya penuh sesak, berlalu lalang kendaraan yang hilir mudik silih berganti dengan tujuan berkunjung ke rumah saudara. Bersilaturahmi pada sesepuh dan alim-ulama untuk mendapatkann wejangan-wejangan serta saling memaafkan menjadi warna khas Idulfitri di nusantara. Namun, pandemi covid 19, dengan  berat hati kali ini hari raya harus dirayakan dengan menerapkan protokol kesehatan, social distancing dan stay at home (protect your community against covid-19).

Bukan berarti  pandemi covid 19 ini,menjadi sebab untuk memutuskan tali silaturahmi dengan saudara, sanak kerabat, sahabat ataupun tetangga lantaran tidak bisa datang untuk saling bermaafan. Lebaran kali ini, kita dapat memanfaatkan tehnologi 4.0 dengan berlebaran lewat aplikasi zoom meeting dan yang lainnya.

Seminggu sesudah lebaran datanglah momen ‘bakda kupat’ (kupatan) di tanah Jawa. Tradisi ini memiliki makna yang khusus dan mendalam di filosofi jawa. Ketupat atau kupat merupakan kependekan dari ‘Ngaku Lepat’ dan ‘Laku Papat’. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku Papat artinya empat tindakan.

Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang jawa. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain.

Laku Papat meliputi Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan. Makna Lebaran adalah sudah usai, atau menandakan berakhirnya waktu puasa. Luberan memiliki arti leluber atau melimpah, yang merupakan ajakan bersedekah kepada kaum miskin yang diimplementasikan dengan zakat fitrah. Leburan bermakna dosa dan kesalahan akan melebur habis, karena setiap umat islam telah saling memaafkan satu sama lain. Sementara Laburan, berasal dari kata Labur, kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding, maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya.

Makanan ‘wajib’ berupa kupat atau ketupat dan lepet mempunyai makna yang luar biasa untuk diimplementasikan pada diri manusia. Mari kita lihat dari pertanyaan, kenapa mesti makanan itu mesti dibungkus janur (daun kelapa muda)?

Janur, diambil dari bahasa arab “ja’a nur” yang berarti “telah datang cahaya”. Bentuk fisik kupat segi empat diibaratkan sebagai hati manusia. Saat orang mengakui kesalahannya, hatinya diibaratkan seperti kupat yang dibelah yang isinya putih bersih,hati yang tanpa iri dan dengki. Kenapa? Karena hatinya dibungkus dengan cahaya  ja’a nur).

Lepet bermakna ‘silep kang rapet’ yang berarti menutup rapat-rapat. Maksudnya, setelah ngaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan diulangi lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.