Ubah Pola Tanam Petani, Hijaukan Hutan Kembali

Wonosobo yang kini sudah tidak sehijau dulu akibat banyaknya petak-petak ladang berwarna coklat. (Foto: istimewa)

Wonosobo, 5NEWS.CO.ID,- Wonosobo tak lagi sehijau dahulu. Suburnya tanah Wonosobo mendorong mayoritas petani gunung Dieng hingga Garung menanam sayur-sayuran seperti kentang, kubis, wortel karena tergiur untung besar.

Namun ada harga yang harus dibayar. Hijau pepohonan yang dulu rimbun perlahan menghilang berganti coklat petak-petak ladang. Sayur-sayuran yang haus pupuk dan obat kimia pun merusak kesuburan tanah.

Setidaknya 1 kuintal kentang membutuhkan 50 kilogram pupuk kimia dan 30 kilogram pupuk kandang. Belum pestisida yang dibutuhkan, apalagi saat musim hujan.

“Dulu di Sigedang ini, ada istilahnya lipet selawe, dua puluh kali lipat hasil tanamannya, sekarang karena tanah rusak jauh berkurang,” kata Sarmudi, salah satu petani di Sigedang, Kejajar.

Di daerah Dieng hingga turun ke Garung, dulu hasil panen satu butir kentang bisa dipegang dua tangan, sekarang mengecil, satu tangan bisa membawa dua-tiga butir. “Ya, karena tanahnya sudah tidak subur sekarang,” tambah Sarmudi.

Hal ini menimbulkan kesadaran dan keprihatinan sebagian petani hutan untuk menjaga lahan dan hutan tempat mereka bercocok tanam. Didampingi tim Kaukus Lingkungan yang tak lelah menyampaikan pentingnya menjaga kelestarian alam para petani hutan perlahan-lahan mulai mengubah pola tanam.

Mereka mulai menanam tanaman tegakan seperti kopi, terong belanda, eucalyptus, serta bambu di samping tanaman sayuran seperti kentang, wortel dan kubisnya.

Romin, misalnya, petani hutan yang mengelola lahan di hutan lereng Sindoro mulai menanam ratusan pohon terong belanda dan karika di samping tanaman kentangnya.

“Agar tanah diikat akar pohon dan tak mudah erosi kena air hujan,” ujar Romin, Minggu (6/12/20).

“Nanti akan saya tanam jeruk juga. Selain bisa menjaga tanah dan menghijaukan kembali hutan, ke depannya, saya ke ladang tinggal panen saja, tak perlu lagi susah mencangkul seperti saat menanam kentang,” tambahnya.

Meski masih menanam sayur-sayuran, perlahan Romin dan petani hutan lainnya mulai mengubah pola tanam ke tumbuhan tegakan yang bisa menghijaukan hutan sekaligus juga memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai pengganti kentang, kubis atau wortel yang cenderung merusak lahan hutan.

“Ya, kita ingin hutan lestari, karena di sini kita bisa hidup dan sejahtera. Kalau hutan rusak ya kita sendiri yang rugi,” ujar Romin. (MN)