
Pati, 5NEWS.CO.ID,- Suluk Maleman, Forum Ngaji Budaya yang digagas oleh Budayawan Anis Sholeh Ba’asyin telah memasuki tahun ke-10 dan tetap konsisten membahas isu-isu agama maupun kebangsaan dengan tagline “Mencerahkan Pikir-Menjernihkan Hati”.
Momen istimewa itu tetap dirayakan walaupun dilaksanakan dengan keadaan virtual dan disaksikan oleh ribuan orang melalui berbagai kanal media. Ngaji budaya di momen istimewa itu diawali dengan pemotongan tumpeng 10 tahun Suluk Maleman kepada salah seorang penggiat, Suroso.
“Semoga bisa terus istiqomah menemani masyarakat menempuh kehidupan,” ucap Anis Sholeh Baasyin penuh harap, Sabtu (15/01/22).
Pada episode ke 121 kemarin, Suluk Maleman membawa pesan penting yaitu pentingnya merawat persatuan untuk menjaga tonggak Islam di peradaban dunia. Sudah tak saatnya lagi perbedaan justru menjadi awal perpecahan.
“Sekarang ini seolah-olah Islam dibenturkan dengan Pancasila, Islam dibenturkan dengan budaya. Kesempitan berpikir seperti ini terus menyelimuti atmosfir berpikir kita,” ujar Drs. Ilyas Arifin, salah satu narasumber yang merupakan dosen di Universitas Negeri Semarang.
Banyak perdebatan tentang perbedaan dalam beragama yang terus terjadi. Padahal perbedaan semacam itu sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat Nabi namun tak pernah menjadi halangan.
“Persoalan kita masih selalu debat tentang musik, ziarah kubur, dan lainnya. Kalau perdebatan hanya soal rumah tangga sendiri bagaimana kita berbicara tentang Islam di kancah global,” kritiknya.
Sementara, Prof Saratri Wilonoyudho mengatakan bahwa diantara tanda akhir zaman adalah hilangnya ilmu. Dia mengingatkan betapa pentingnya menjaga sisi akhlak dan moral sehingga bisa menghentikan berbuat kerusakan di muka bumi.
“Jangan sampai dampak kerusakan itu justru dirasakan oleh anak cucu kita sendiri. Merekalah yang akan mewarisi kerusakan itu. Sekarang setiap pihak sudah berani klaim paling benar. Jangan sampai ini menjadi awal Islam dirusak dari dalam. Untuk menghindarinya kita harus menguatkan ketaqwaan,” ujar Prof Saratri Wilonoyudho yang juga merupakan dosen Universitas Negeri Semarang.
Taqwa, tambahnya, bisa diwujudkan dengan cinta kasih. Dan itu dilengkapi dengan sikap tawakal. Dengan bertawakal maka akan dicukupkan segala kebutuhan dan memudahkan segala permasalahannya.
Anis Sholeh Ba’asyin menambahkan, dibutuhkan kuda-kuda kuat untuk menghadapi zaman yang kian menggila. Terutama dalam meneguhkan identitas sebagai Islam dan sebagai manusia yang seutuhnya.
“Kita harus menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Jangan mau didikte pemikiran orang lain. Jangan asal terbawa arus. Ini penting saat masuk ke abad 21 yang tampaknya akan ada banyak perubahan dan mendasar,” tambahnya.
Ia lantas mengatakan bahwa banyak pemikiras sosial dari Islam yang dapat dijadikan sebagai pijakan. Islam sendiri tidak memandang manusia dari ras maupun strata sosial apapun, melainkan sebagai umat yang satu. (mra)