Sambut Pilkada 2020, Para Ahli Minta Mayarakat Waspadai Bahaya Politisasi Agama

Prof. Ahmad Najib Burhani, Guru Besar Riset LIPI saat menyampaikan materi. (Foto: istimewa)

Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Untuk menyambut acara pesta politik Pilkada 2020 sejumlah ahli meminta masyarakat untuk mewaspadai adanya politisasi agama yang kerap digunakan beberapa tahun terakhir untuk kepentingan politik. Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation menyelenggarakan diskusi virtual pada Sabtu (17/10/20) untuk membahas hal ini secara rinci.

Dalam pers rilisnya, diskusi ini mengusung tema “Melihat Potensi Politisasi Agama di Pilkada 2020” dan dihadiri oleh sejumlah narasumber yaitu Dr. Kapitra Ampera, Prof. Ahmad Najib Burhani dari LIPI, dan Dr. Amir Mahmud.

Dr. Kapitra menjelaskan bahwa masyarakat harus mewaspadai potensi politisasi agama dalam pilkada 2020 ini, sebagaimana yang telah terjadi pada konstelasi politik sebelum-sebelumnya. Ia menjelaskan, politisasi agama dilakukan dengan cara mengeksploitasi slogan dan mengusung ayat-ayat agama untuk kepentingan politik semata.

Ia juga berkomentar mengenai kemunculan Aksi Koalisi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Menurut dia, KAMI adalah gerakan politik kekuasaan yang dibungkus dengan agama.

“Itu adalah gerakan politik kekuasaan yang di bungkus moral,” ujar Dr. Kapitra Ampera malam itu.

Guru Besar Riset LIPI, Prof. Ahmad Najib Burhani menyampaikan ada empat pola politisasi agama, yaitu pidato yang bernada politik identitas ceramah provokatif di tempat ibadah, pemasangan spanduk tokoh dan pesan berbau SARA, dan terakhir adalah ujaran kebencian di media sosial.

Dia juga menyebut politik identitas ini kemungkinan besar berpotensi dilakukan oleh pasangan calon yang minim prestasi.

“Politik identitas berpotensi dilakukan oleh pasangan calon yang minim prestasi,” kata dia.

Sementara Dr. Amir Mahmud menambahkan, politisasi agama adalah sesuatu perbuatan yang terlarang karena dapat mendistorsi kemurnian dan mengotori kesucian agama itu sendiri.

“Mengutip ayat dan mengusung simbol agama untuk kepentingan politik kekuasaan adalah sesuatu yang nista,” papar Dr. Amir, Sabtu (17/10).

Acara ini diselenggarakan sebagai bentuk ‘alarm warning’ kepada masyarakat dan pemerintah agar siap meminimalisir serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya politisasi agama. Karena dampak dari politisasi agama ini sangat besar juga destruktif, dan tentunya bertentangan dengan prinsip kebhinekaan serta berpotensi mempolarisasi masyarakat.

“acara ini adalah bentuk alarm warning kepada pemerintah dan masyarakat agar mengantisipasi dan meminimalisir potensi terjadinya politisasi agama,” pungkas M. Najih Arromadloni, selaku penyelenggara saat menutup webinar ini. (mra)