Pasca Aksi Tolak Omnibus Law, Tim Advokasi Sebut Ratusan Orang Masih Hilang dan Banyak Laporan Intimidasi Jurnalis

Pelajar dan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di belakang gedung MPR/DPR, Jalan Tentara Pelajar, Jakarta, Senin (30/09/19). (Foto: ANTARA/Hafidz M.A.)

Jakarta, 5NEWS.CO.ID, – Perwakilan tim Advokasi untuk Demokrasi, muhammad Afif Abdul Qoyyim menyebutkan bahwa hingga kini, pihaknya telah menerima 507 laporan kehilangan orang baik dari kalangan buruh, mahasiswa bahkan jurnalis saat aksi demonstrasi yang dilakukan 8 Oktober lalu dalam rangka menolak pengesahan Omnibus Law.

Dari total 500 orang tersebut, sebanyak 300 orang dinyatakan sudah kembali ke kediaman masing-masing, sedangkan 207 lainnya belum diketahui rimbanya hingga saat ini.

“Tapi masih terdapat 207 orang yang teridentifikasi hilang dan beberapa tempat serta kantor polisi belum bisa memastikan, dan banyak yang tidak teridentifikasi ditahan di mana,” ujar Afif saat memberi keterangan pers secara daring, Senin (12/10/20).

Dirinya mengatakan, hingga saat ini ia dan timnya masih terus melakukan penyelidikan untuk mencari tahu keberadaan para demonstran yang hilang ini. pihaknya mengaku kesulitan karena pihak kepolisian tidak memberi akses terbuka tentang identitas dan berapa banyak yang saat ini ditahan pasca aksi kemarin.

“Sampai sekarang tim masih terus bergerak tapi tim mengalami kesulitan karena pihak kepolisian minim membuka siapa saja yang ditahan dan ditempatkan di mana, serta atas tuduhan apa,” katanya.

Afif juga mengaku banyak menerima laporan terkait aksi kekerasan terhadap jurnalis, bahkan pembungkaman dan intimidasi saat aksi berlangsung. Para jurnalis yang bertugas di lapangan menerima intimidasi berupa larangan meliput atau mengambil gambar saat aksi tengah berlangsung.

“Kami juga mendapat laporan aparat yang membungkam beberapa jurnalis untuk tidak meliput. Setelah itu banyak juga yang ditangkap. Ini tentu praktik mencederai jurnalistik,” kata dia.

Dia juga mengakui selama aksi berlangsung telah banyak tindakan pengendalian massa dengan kekerasan yang semestinya tidak dilakukan saat aksi awalnya berlangsung damai. Contohnya, pembubaran massa dengan menggunakan gas air mata hingga menghalangi-halangi massa yang hendak menggelar aksi untuk datang ke Jakarta.

“Aparat cenderung menghalangi massa ke tempat tujuan. Sekenario menempatkan aparat di depan massa yang sedang duduk berkumpul, ini merupakan tindakan membuat paranoid massa kepada aparat,” paparnya.

Afif menegaskan, pihaknya meminta agar Komnas HAM, organisasi pemantau kepolisian hingga organisasi advokat menegur segala praktik penahanan paksa yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa aksi. (mra)