
Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Parlemen Thailand memutuskan untuk menunda amandemen undang-undang dasar, meski terus didesak oleh kalangan kativis pro-demokrasi. Keputusan tersebut diambil dalam sidang parlemen di Bangkok, Thailand, Kamis (24/09/20).
”Hasil voting memutuskan bahwa mosi perubahan konstitusi ditunda sampai November,” kata anggota parlemen pro-pemerintah, Chinnaworn Boonyakiat, Kamis (24/09) malam.
Keputusan ini membuat geram kelompok oposisi dan aktivis, anggota parlemen Thailand yang dikuasai oleh mayoritas pendukung pemerintah Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha malah memutuskan membentuk komisi khusus untuk mengkaji persoalan amandemen lebih dahulu, ketimbang langsung membahas inti masalah. Kelompok oposisi dan para aktivis menilai ini sebagai upaya buang-buang waktu.
Salah satu aktivis yang berada di luar gedung parlemen, Tattep Ruangprapaikitseree menuding pemerintah sengaja mengulur-ngulur waktu.
“Mereka tidak tulus memperjuangkan kepentingan rakyat Thailand, kami tidak bisa terima,” ujar dia.
Ribuan demonstran di luar gedung parlemen menuntut agar aspirasi mereka dilaksanakan. Mereka mengancam akan terus berunjuk rasa selama bulan Oktober jika tuntutan mereka tidak dikabulkan hingga 30 September.
”Rakyat sudah ada di depan parlemen untuk menunjukkan kekuatan. Anggota parlemen dan senator harus mendengarkan suara rakyat,” kata salah satu pengunjuk rasa, Nawat Yamwattana.
Kelompok pro-demokrasi diketahui memiliki tiga tuntutan yaitu mereka ingin mereformasi posisi dan peran kerajaan, membatasi kekuasaan para senator yang tidak dipilih melalui pemilihan umum, dan proses pemilihan anggota parlemen.
Di sisi lain, kalangan kerajaan dan bangsawan juga mengaku kecewa dan mendesak agar pemerintahan PM Prayuth untuk tidak mengusik mereka, karena sebagian masyarakat Thailand percaya bahwa kerajaan dianggap sebagai dan tidak boleh diganggu sembarangan.
Proses perubahan konstitusi ini tidak akan mudah dan akan memakan waktu yang sangat lama jika terlaksana, minimal dua tahun. Diketahui, Thailand telah digoncang oleh belasan kudeta dan telah memiliki 20 konstitusi sejak pemerintahan langsung di bawah raja berakhir pada tahun 1932. (mra)