
Jakarta, 5NEWS.CO.ID, – Wacana omnibus law (penyederhanaan regulasi) tentang RUU Perpajakan dan Cipta Lapangan Kerja muncul ketika Presiden Jokowi melakukan Pidato Kenegaraan, dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 di Sidang Paripurna MPR RI di Jakarta, Minggu (20/10/19).
“Kita tidak boleh terjebak pada regulasi yang kaku, yang formalitas, yang ruwet, yang rumit, yang basa-basi, yang justru menyibukkan, yang meruwetkan masyarakat dan pelaku usaha. Ini harus dihentikan,” ujar Jokowi saat itu.
Presiden Republik Indonesia itu juga kembali menekankan bahwa di negara ini terjadi obesitas regulasi yang kerap membuat pemerintah sibuk sendiri. Berdasarkan data laporan yang diterimanya, Jokowi menyebut ada 8.451 peraturan pusat dan 15.985 peraturan daerah yang dimiliki pemerintah.
“Kita mengalami hiper regulasi, obesitas regulasi yang membuat kita terjerat dalam aturan yang kita buat sendiri. Terjebak dalam keruwetan dan kompleksitas,” ujar Jokowi saat memberikan sambutan dalam penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/01).
Akan tetapi, terdapat pihak terutama para buruh yang menganggap ada beberapa poin dalam omnibus law tersebut khususnya di bidang lapangan kerja yang membuat mereka terusik hingga melakukan demo besar di DPR beberapa waktu lalu.
Khusus tentang lapangan kerja, para buruh merasa terancam. Ada beberapa pasal yang mengusik mereka.

Pertama, soal cuti hamil dalam UU 13 Tahun 2003 diatur tentang cuti hamil. Misalnya di Pasal 82 yang menyebut buruh perempuan berhak mendapatkan istirahat 1,5 bulan sebelum lahir dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.
Memang dalam draft yang kami terima, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tidak ada yang mengatur cuti hamil untuk buruh perempuan. Namun, bukan berarti omnibus law akan menghapuskan aturan yang tercantum dalam UU sebelumnya. Karena, omnibus Law ialah UU yang dibuat untuk menyasar satu isu tertentu dalam UU sebelumnya.
Kedua, ada isu Omnibus Law menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Sanksi itu sebelumnya juga diatur dalam UU 13 Tahun 2003.
Misalnya pengusaha yang membayar upah di bawah minimum bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Tapi sekali lagi bukan berarti tidak tertuang dalam draft Omnibus Law maka aturan itu hilang. Lagipula dalam draft tersebut juga masih menjabarkan sanksi-sanksi yang bisa diterima pengusaha.
Ketiga, Lalu ada juga penolakan lantaran membebaskan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Dengan begitu para buruh khawatir ketersediaan lapangan kerja semakin berkurang dengan kedatangan para TKA.
Jika dilihat dari draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, ada beberapa pasal yang mengatur tentang penggunaan TKA dalam BAB IV Ketenagakerjaan. Misalnya di Pasal 437 dijelaskan setiap pemberi kerja yang memakai tenaga asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Selain itu disebutkan TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu.
Keempat, Para buruh juga menolak sistem pengupahan yang ada dalam draft beleid tersebut. Menurut mereka sistem pengupahan nantinya akan diubah menjadi perhitungan jam. Jika pekerja bekerja kurang dari 40 jam seminggu berpotensi mendapatkan gaji di bawah upah minimum.
Berdasarkan bahan penjelasan Kemenko Perekonomian, Omnibus Law memang akan mengatur skema upah per jam. Namun upah minimum yang biasanya juga tidak dihapuskan.
Kelima, Para buruh juga mengkhawatirkan hilangnya pesangon bagi pekerja yang terkena PHK. Pesangon itu diubah menjadi tunjangan PHK. Namun berdasarkan draft RUU tentang Penciptaan Lapangan Kerja masih mengatur pembayaran pesangon. Besaran perhitungan uang pesangonnya pun sama dengan yang diatur dalam UU 13 Tahun 2003.
Misalnya untuk masa kerja kurang dari 1 tahun dapat 1 bulan upah, lalu masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, dapat 2 bulan upah. Kemudian masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, dapat 3 bulan upah dan seterusnya. (mra)