Omnibus Law Bakal Senasib dengan RUU KPK?

Sejumlah mahasiswa menggelar aksi tolak omnibus law, Jumat (07/02). (ANTARA Foto/Arif Firmansyah)

Jakarta, 5NEWS.CO.ID, – Ekonom Centre of Reforms on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah khawatir Omnibus Law setelah nanti disahkan malah berakhir seperti Revisi Undang Undang KPK yang justru ditolak oleh banyak pihak serta menjadi polemik berkepanjangan. Lantaran, penyusunan aturan ini terkesan terburu-buru dan kurang melibatkan banyak pihak.

“Ini mengingatkan kita seperti Revisi UU KPK, sangat lancar di DPR, tetapi kemudian menimbulkan gejolak di luar DPR. Saya khawatirkan Omnibus Law bisa seperti itu, karena omnibus law ini kelemahan utamanya adalah tidak dikomunikasikan secara intensif sejak awal dan ingin cepat,” tutur Piter kepada awak media, Senin (24/02/20).

Pemerintah dianggap terlalu percaya diri aturan ini dapat disahkan secara mulus di DPR RI. Seperti diketahui, Presiden Jokowi memang menargetkan aturan ini harus selesai dalam 100 hari setelah sampai di parlemen. Akan tetapi, target itu malah tampak abai pada efek setelahnya, terutama bagaimana penerimaannya di masyarakat.

“Saya paham, alasannya kenapa, karena memang pemerintah ingin cepat, pengen cepat inilah yang jadi kelemahan Omnibus Law, begitu besar yang diharapkan dari Omnibus Law dan ingin cepat selesai juga,” ujarnya.

“Itu akhirnya membuat aturan ini menjadi terlalu berat bebannya, dan pembuatannya serta penyusunannya pun karena buru-buru jadi dimasukkan semua. Akhirnya banyak poin-poin yang menjadi rawan untuk dikritisi,” paparnya.

Hal serupa juga dikhawatirkan oleh Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi. Fitra menghimbau agar penyusunan Omnibus Law dapat dibuat setransparan mungkin dan dikupas dengan detail dan mendalam, pasal per pasal untuk menghindari aturan yang bertumpuk-tumpuk.

“Memang harus lebih banyak melakukan diskusi dan dibuat lebih transparan, agar tidak menjadi regulasi yang bertumpuk-tumpuk aturannya, sehingga membingungkan,” ujarnya.

Dia juga menghimbau agar pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan aturan tersebut.

“Jadi PR nya itu, bagaimana kemudian, supaya ini tidak terjadi, maka pemerintah jangan sampai terburu-buru, sehingga kemudian membuat kualitas dari omnibus law ini menjadi jelek,” tutup Fithra. (mra)