
Pati, 5NEWS.CO.ID,- Ngaji NgAllah Suluk Maleman kali ini membahas terkait ilmu titen yang masih diyakini oleh sejumlah masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, ilmu titen yang dipercaya dan diyakini penting untuk membaca tanda-tanda alam, seperti halnya saat terjadi bencana, Sabtu (17/12/2022) malam.
Anis Sholeh Ba’asyin mengatakan kepekaan dalam membaca isyarat itulah yang sekarang ini justru mulai ditinggalkan atau memudar. Lanjut kata dia, kepekaan itu merupakan anugerah dari Allah.
“Ada banyak tanda misalkan saat akan ada bencana seperti gunung meletus, tsunami maupun yang lainnya. Bagi orang Jawa dikenal sebagai ilmu titen, ilmu yang dibangun berdasar statistik kejadian yang berulang” kata Anis di acara Ngaji NgAllah Suluk Maleman, Sabtu (17/12/2022).
Kemampuan dalam membaca isyarat juga saat ini mulai jarang ada yang memiliki. Keberadaan ilmu titen dalam membaca tanda alam dianggap kalah dari ilmu lain yang dinilai lebih modern.
“Saat ini kian tergerus. Padahal teknologi modern pun tak mampu menjamin secara pasti,” terangnya.
Kepekaan mengenali tanda menurutnya sangat penting. Kedekatan pada Allah diakuinya dapat membuat kepekaan lebih tinggi. Begitu pula peka dalam mengelola tubuh maka akan berbanding lurus dengan pengelolaan terhadap alam.
“Jika kita dikatakan sering mengalami bencana karena berada di daerah rawan, padahal organ tubuh kita juga cukup rawan. Namun hal itu akan menjadi baik jika mampu dikelola dengan baik. Begitu juga potensi kerawanan akan kondisi alam,” ujarnya.
Dalam ajaran Jawa (Kejawen) ada ajaran terkait tiga tingkatan isyarat, yakni dupak bujang, semu mantri, dan esem bupati. Dupak bujang adalah penyampaian pesan secara lugas. Sementara semu mantri menggunakan simbol-simbol meski masih bisa terbaca.
Sedangkan esem bupati itu lebih samar lagi. Lebih penuh simbol dan makna, yang untuk memahaminya butuh kejernihan.
Salah satu dosen Upgris Semarang Muhajir Arrosyid, yang malam itu menjadi salah seorang narasumber, menjelaskan bahwa suasana yang jernih akan menumbuhkan kepekaan yang lebih tinggi. Seperti halnya saat orang tengah berpuasa.
“Orang Jawa dulu banyak memahami ilmu titen. Seperti saat gunung meletus, biasanya akan ada burung tertentu yang terbang berputar,” jelasnya.
Budi Maryono, budayawan selaku narasumber juga, menyebut bahwa kepekaan dalam membaca tanda itu sekarang ini telah banyak dikonversi menjadi pengetahuan. Kemudian, pengetahuan dikonversi jadi teknologi.
“Sedangkan kita terlalu bergantung pada teknologi hingga membuat kepekaan kita melemah. Ada banyak ilmu titen yang bisa membantu baik dalam pertanian, mitigasi bencana, maupun penanda lainnya; tapi sekarang sudah banyak yang melupakannya karena ketergantungan pada teknologi,” tuturnya.
Seperti anak pelaut saat ini belum tentu lagi bisa memahami ilmu perbintangan maupun arah angin. Padahal hal itu telah dipelajari nenek moyang.
“Saat ini yang menjadi PR kita adalah menjaga kedekatan dengan Tuhan serta meningkatkan rasa simpati dan empati terhadap sesuatu diluar kita. Empati itu tidak hanya saat terjadi sesuatu saja. Seperti saat bencana menyumbang logistik,” imbuhnya.
Namun empati seharusnya dibangun jauh sebelum terjadi sesuatu. Seperti mulai bergerak menanam jika hutan gundul, itu adalah bentuk empati yang lebih hakiki, karena menjaga sesuatu sebelum bencana terjadi.
Topik yang dibahas dalam Suluk Maleman edisi ke 132 itu kian meriah dengan pertunjukkan musik dari Sampak GusUran. Meski lokasi acara sempat terendam air hujan, namun iotu tak menghalangi orang untuk mengikutinya. (hus)