
Pati, 5NEWS.CO.ID,- Seiring momen bulan Agustus, majelis Ngaji NgAllah Suluk Maleman mengambil tema tentang kemerdekaan, lebih tepatnya mencoba mengulik sisi lain dari makna kemerdekaan itu sendiri.
Hal ini dinyatakan langsung oleh penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin yang mengingatkan pentingnya memaknai kemerdekaan dalam hubungannya dengan hak-hak adami, atau hak sesama manusia.
Kemerdekaan setiap individu dalam melakukan sesuatu, ujar Anis, diharapkan tak mengganggu apalagi mencederai hak-hak orang lain. Kemerdekaan justru harus berlandas pada tujuan untuk memuliakan manusia, bukan memperhinanya dengan berbagai cara.
“Salah satu hal yang justru perlu diperhatikan adalah: apakah kemerdekaan digunakan untuk mendzolimi orang lain atau tidak? Ini menjadi sangat penting, karena menurut Al Qur’an, pencederaan apalagi pendzoliman pada sesama manusia, adalah jenis dosa yang tak termaafkan bahkan oleh Allah sekalipun, tanpa yang bersangkutan secara sukarela memaafkan kita,” tambah Anis dalam majelis Ngaji NgAllah Suluk Maleman, Sabtu (20/08/22) malam kemarin.
Konsep hak-hak sesama manusia atau dalam tradisi Islam dikenal sebagai hak-hak adami ini pun harus dipahami secara berjenjang. Mulai dari level horisontal, baik personal maupun sosial; maupun level vertikal yang berkait dengan dimensi kuasa, antara yang memimpin dan yang dipimpin, antara negara dengan rakyat dan seterusnya.
“Nah, kalau secara horizontal dan personal, orang per orang saja pelanggaran dan pencederaan hak adami adalah persoalan yang dianggap serius oleh Allah; maka tak terbayang tingkat keseriusannya bila ini terjadi secara vertikal, dengan melibatkan lembaga dan kuasa, yang jangkauan pelanggaran dan pencederaan otomatis bersifat massif, melibatkan hampir semua orang yang ada di dalam wilayah kuasanya,” tegas Anis.
“Perilaku korup misalnya, adalah salah satu contoh kecil bagaimana kemerdekaan dicederai. Kekayaan yang seharusnya menjadi hak bangsa, rakyat; disedot demi kerakusan segelintir orang dengan memanfaatkan kuasa yang dimilikinya. Jelas ini mengacaukan kehidupan sosial dan merusak substansi kemerdekaan itu sendiri; karena korupsi merampas kemungkinan sejahtera di kalangan bangsa, rakyat. Apalagi bila perilaku korup ini lantas jadi budaya, sungguh tak terbayang dampaknya. Setiap orang yang masuk dalam sistem mau tak tak mau seperti digiring dan dipaksa melakukannya kalau tak ingin diasingkan atau malah disingkirkan. Kalau sudah demikian keadaannya, sungguh tak terbayang besarnya kemungkinan azab yang bisa datang,” lanjutnya.
“Maka dari itu kini saatnya kita harus berani introspeksi dan mengevaluasi: mampukah kemerdekaan kita selenggarakan tanpa melanggar dan mencederai hak orang lain, hak rakyat, hak bangsa?,” tanyanya.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Dr. Saratri Wilonoyudho, guru besar dari Unnes, menyayangkan di era kemerdekaan saat ini justru banyak peninggalan leluhur yang semakin menghilang. Tidak hanya kekayaan alam, tapi juga kesenian, teknologi, bahasa maupun berbagai kekayaan luhur lainnya.
“Padahal itu modal kekuatan bangsa ini. Kekayaan alam sudah semakin tergerus lantaran kerakusan para koruptor,” terangnya.
Dalam hal teknologi misalnya, Indonesia memiliki sistem persenjataan yang kuat seperti keris yang terbuat dari puluhan lapis, kapal yang banyak diakui terbaik di masanya.
“Kita juga punya obat-obatan herbal. Namun karena itu tidak ada di barat, seolah-olah obat herbal dianggap tidak berkhasiat. Borobudur juga, itu juga menunjukkan betapa hebatnya leluhur kita di zaman dulu,” tambahnya.
Persoalan dunia pendidikan pun saat ini dinilai kian merosot. Pendidikan banyak dikomersialisasi dan hanya mengejar ranking serta demi kebutuhan pekerjaan belaka.
“Padahal nenek moyang kita dulu benar-benar luar biasa dalam mencari ilmu. Tapi sekarang ini banyak yang hanya mengejar gelar bukan ilmu. Inilah yang menyebabkan derajat kita tak pernah naik, dan tentu saja ini memperlemah posisi kita sebagai sebuah bangsa,” tambahnya.
Pola pandang seperti itu pulalah yang disebut Prof. Saratri sebagai salah satu penyebab utama terjadinya perilaku korup. Banyaknya orang yang dihormati hanya karena kekayaannya, maka tak mengherankan bila kemudian banyak yang berlomba mengejar untuk menjadi kaya. Sehingga mau melakukan apapun, termasuk melanggar aturan.
Sementara, , Dr Abdul Jalil, dosen IAIN Kudus, mengingatkan kata merdeka memiliki makna yang begitu baik. Merdeka jika diserap dari bahasa Sansekerta maka berasal dari kata Maha Ardika. Dimana ada empat poin kunci yakni pengetahuan, kebijakan, kekuatan dan kekayaan.
“Empat hal itu sendiri sebenarnya telah ada di Pancasila,”tambahnya.
“Kalau kita pakai kata kemerdekaan dalam pengertian tersebut, sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang cerdas, bijak, punya kekuatan dan sejahtera. Bila empat parameter tersebut tak ada, maka kita tidak atau belum bisa menyebut bangsa tersebut sebagai bangsa yang merdeka. Nah, berdasar parameter tersebut, mestinya kita masing-masing bisa membuat penilaian: sudahkah kita mencapai kemerdekaan?”
Menggaris-bawahi pendapat tersebut, Drs. Ilyas Arifin, dosen Unnes, mengatakan bahwa kondisi kita, hampir seperti banyak kondisi negara yang dikategorikan berkembang, kemerdekaan justru sering ditandai dengan mengerucutnya kekuatan dan kekayaan pada kelompok kecil pihak yang berkuasa; dengan meninggalkan yang lain di samudra ketidakberdayaan dan kemiskinan.
“Dari semua itu, yang paling mengenaskan adalah kenyataan bahwa yang selalu tersingkir dan hampir selalu menjadi korban pertamanya adalah pengetahuan dan kebijakan, dan orang-orang yang setia terhadapnya,” demikian tegasnya.
Untuk menurunkan tensi dialog yang terkesan serius ini, di sela-sela dialog jamaah yang hadir malam itu dihibur dan diajak bergembira dengan tampilan Sampak GusUran dan lagu-lagunya. (mra)