
Jepara, 5NEWS.CO.ID, – Bedah buku karya penelitian dosen UNISNU Fathur Rohman yang berjudul Syiah dan Nasionalisme Indonesia dihelat dalam rangka Hari Santri Nasional di Pesantren Darut Taqrib Krapyak Jepara, Kamis (31/10/2019).
Pesantren bermazhab Syiah yang berdiri sejak tahun 1999 itu menjadi objek penelitian dosen kelahiran Kudus beberapa tahun lalu.
Bedah buku dengan tema besar ‘Pesan Damai dari Pesantren’ itu terselenggara atas kerja sama Jalin Damai Jepara, Gusdurian Jepara dan pesantren Sunni (Ahlussunnah wal jamaah) yakni Pondok Pesantren Hasyim Asyari Bangsri dan pesantren Syiah Ahlulbait Darut Taqrib Jepara.
Dalam pemaparannya, Fathur Rohman mengatakan bahwa setelah bertemu langsung dengan pengurus pesantren dan pengikut mazhab Ahlulbait, dirinya menemukan kontradiksi antara kenyataan di lapangan dengan apa yang dibicarakan di media sosial.
“Saya sering menemukan tuduhan miring terkait Syiah di media sosial namun setelah mengecek di lapangan justru saya temukan sebaliknya. Tuduhan mereka yang tidak benar,” katanya.
Kedua, lanjutnya, jika kita hadap-hadapkan antara Syiah dan HTI yang sama-sama punya rujukan di luar Indonesia, keberagaman mereka sehari-hari justru berbeda. Budaya dan tampilan mereka juga berbeda.
“Semakin ke dalam menelusuri Syiah saya temukan justru kesamaan dengan umumnya Muslimin di nusantara. Orang Syiah juga tahlilan, yasinan, maulidan dan lain sebagainya. Mereka seperti masyarakat Jepara khususnya dan Muslimin Indonesia umumnya,” lanjutnya.
Semakin sering bertemu, lanjutnya, mereka tidak pernah mengajak kami menjadi Syiah, kami tetap sebagai NU.
“Kami temukan Syiah tidak radikal seperti tuduhan banyak kalangan. Tidak mengkafirkan atau mudah menyesatkan yang lain. Mereka nasionalis dan mencintai Indonesia,” pungkas dosen yang rajin melakukan penelitian itu.

Pembicara lain, Ning Kamilia Hamidah, dari Pati mengatakan bahwa buku yang ditulis merupakan buku yang mendialogkan dan bukan jenis buku yang biasanya menjustifikasi mazhab Syiah.
“Banyak buku yang lebih membandingkan satu mazhab dengan yang lain dan akhirnya menggiring ke arah penyesatan, justifikasi. Namun buku ini berbeda, inilah kelebihannya” kata duta perdamaian itu.
Gus Dur pernah bilang, lanjutnya, bahwa NU itu Syiah minus imamah. Jadi konsep imamah dalam kontekstualisasinya dalam kuktur lokal.
“Mungkin amaliahnya berbeda jika diamati secara lebih dekat, namun dalam pergaulan tidak menimbulkan perbedaan yang mencolok. Justru tercipta keserasian,” katanya.
Pengajar di Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Kajen Pati itu menegaskan bahwa perbedaan jika dipahami dengan baik akan bisa didialogkan tapi berbahaya jika salah memahami arti perbedaan.
Pembicara yang lain, Pendeta Danang Kristiawan dari GITJ Jepara, bahwa dirinya sebagai orang Kristen memandang kawan-kawan Muslim itu hanya dua, yaitu yang mau bergaul dengan Kristen dan yang tidak mau. Dan setelah ia telusuri, bahwa Kristen Menonit yang dia yakini, memiliki kedekatan dengan Syiah terutama yang di Iran.
“Sering terjadi pertukaran pelajar antara pelajar Qum dan Kristen Toronto di kanada. Syiah dan Kristen menonit memiliki kedekatan sejarah,” katanya.
Pendeta asli Jepara itu pernah menitipkan mahasiswanya di pesantren Darut Taqrib intuk live In, agar tahu kehidupan pesantren.
“Saya masih ingat pesan ustaz Miqdad ke mahasiswa yang saya titipkan, bahwa beliau berharap setelah pulang dari pesantren agar menjadi orang Kristen yang baik karena sudah diperkaya dengan ilmu, kawan dan pengalaman baru,” lanjutnya.
Menurutnya, perjumpaan yang baik bukan sekedar saya dan engkau tapi menjadi kita yaitu menjalin persahabatan.
Sedangkan pembicara terakhir, ustaz Miqdad Turkan, yang juga pengasuh pesantren mengatakan bahwa penulis buku yang sore itu dibedah adalah orang yang berani.
“Karena berani mengungkap suatu hal penting yang dituduhkan miring banyak kalangan kepada Syiah. Dan memang yang kami tampilan dan sampaikan seperti itu apa adanya. Jangan-jangan penulisnya syiah?” disambut tawa hadirin.
Ulama asal Krasak Bangsri itu menandaskan bahwa dirinya sangat terkesan, ketika acara sore itu diberi judul Pesan Damai dari Pesantren, membedah buku yang berjudul Syiah dan Nasionalisme Indoneisa dan bertempat pula di pesantren Syiah Darut Taqrib. Ini momen yang sangat langka dan jarang, katanya, bahkan tidak terjadi di tempat lain selain di kota ukir Jepara.
“Kami tidak punya keinginan menjadikan orang lain sebagai Syiah, tapi kami ingin agar orang memahamai syiah dengan benar, dari sumber aslinya,” harapnya.
Ustaz lulusan Qum Iran itu merasa heran, karena orang-orang pintar yang dekat dengan Syiah dituduh sebagai Syiah, tapi tidak dengan orang Syiah yang dekat dengan NU kemudian dituduh sebagai Nahdiyin.
“Saya ambil kesimpulan jika ingin pintar belalah Syiah karena banyak tokoh-tokoh nasional dan pintar-pintar juga dituduh Syiah meski pun mereka bukan seorang Syiah. Seperti Nazaruddin Umar, Said Aqil, Buya Syafii, Lukman Hakim Saifuddin, Quraish Shihab dan lainnya,” pungkasnya disambut tawa hadirin.
Keakraban antara Sunni dan Syiah sore itu semakin terasa kala salat berjamaah Maghrib yang diikuti baik Sunni dan Syiah sedangkan yang memgimami Kiai Mashudi, ketua MUI Jepara.
Selepas salat diadakan majlis maulidurasul kolaborasi santri Sunni dan Syiah dilanjut makan kepungan bersama satu nampan ala pesantren. (mas)