Kurang Diminati, Wayang Potehi Mati Suri

Peminat wayang potehi menurun, regenerasi dalang yang tidak berjalan dan pakem yang sulit membuatnya berada di ambang kepunahan

Jakarta, 5NEWS.CO.ID, – Nasib kurang baik melanda salah satu warisan budaya di Indonesia, wayang potehi yang kalah dari dua wayang lainnya yaitu wayang kulit dan wayang golek. Peminat yang menurun, regenerasi dalang yang tak berjalan, dan pakem yang sulit membuat wayang potehi di Indonesia diambang kepunahan.

Wayang potehi merupakan wayang tiga dimensi yang berasal dari China. Po berarti kain, te berarti kantong, dan hi berarti penampilan kesenian. Jadi secara harfiah wayang potehi merupakan kesenian wayang yang terbuat dari kain kantong.

Wayang yang dimainkan dengan lima jari ini membawakan kisah-kisah kerajaan China. Imigrasi warga Fujian pada abad ke-16 ke sejumlah negara di Asia Tenggara membawa wayang potehi sebagai salah satu budaya sekaligus kesenian yang menghibur.

Dahulu, orang China memainkan wayang potehi sebagai ritual pemujaan dewa di kelenteng. Penyebaran wayang potehi pada sebelum era kemerdekaan ada di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan mayoritas di daerah Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.

Kini, ritual yang sama masih dilakukan. Namun, jumlahnya kian menurun, dalang wayang potehi yang siap pentas kini hanya berjumlah sepuluh orang dan semuanya berdomisili di Jawa Timur.

“Kondisinya sebetulnya mati suri karena dalangnya semakin sedikit. Hanya ada lima dalang yang benar-benar paham dan tidak ada regenerasi,” kata pengamat wayang, Dwi Woro Retno Mastuti usai diskusi Di Balik Layar Wayang Potehi di Galeri Salihara, Jakarta, Sabtu (01/02/20).

Alhasil, salah satu dalang yang tersisa, Mudjiono mesti melakoni pementasan dari satu kelenteng ke kelenteng lain di berbagai kota seluruh Indonesia.

“Untuk pementasan saya bisa menerima dari seluruh Indonesia. Kadang saya minta bantuan teman yang lain karena kebutuhannya (ritual) masih ada,” ungkap Mudjiono.

Namun, ia mengaku khawatir wayang potehi tidak akan bertahan lama karena rendahnya antusiasme masyarakat dan anak muda. Dia juga kesulitan menemukan penerus dalang wayang potehi.

“Kalau tidak ada yang menghidupkan atau melestarikan dalam jangka waktu 25 tahun kedepan akan habis wayang potehi ini,” ujarnya.

Selain regenerasi, wayang potehi yang juga masih mengikuti pakem dari China juga dianggap sebagai salah satu penyebab wayang satu ini sulit berkembang. Sejauh ini, akulturasi budaya dalam wayang potehi hanya dalam musik dan dialog yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah.

Menurut woro, wayang potehi yang ada di Indonesia saat ini sudah menjadi milik bangsa Indonesia dan diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO sehingga harus dilestarikan.

“Pakem wayang potehi masih dari China. Tapi kan sudah menjadi warisan dan siapa yang mewarisi? Ya bangsa Indonesia. Akulturasi tidak masalah, sama sekali bukan hambatan karena justru memperkaya khasanah bangsa Indonesia,” kata dia.

Dia juga menilai wayang potehi penting dilestarikan karena dapat bermanfaat untuk menyebarkan kebaikan melalui kisah-kisah inspiratif. Wayang potehi juga dianggap memiliki keunggulan dibandingkan wayang jenis lain karena lebih sederhana, mudah dibuat, dan gampang diperagakan.

Woro berharap wayang potehi tidak hanya jadi pementasan di kelenteng atau saat imlek saja, tapi jadi hiburan yang bermanfaat. Saat ini, Woro juga ikut melestarikan wayang potehi dengan rutin mengadakan pementasan di Rumah Cinta Wayang pada minggu keempat setiap bulannya. (mra)