
Jakarta, 5NEWS.CO.ID- Myanmar kembali bergejolak setelah hampir satu dekade menuju negara yang demokratis. Selama bertahun-tahun Myanmar berada di bawah pemerintahan militer, dan kini harus kembali tunduk dalam kendali militer. Terjadi sebuah kudeta pada Senin (1/2/2021) ketika anggota parlemen berkumpul di Ibu Kota guna pembukaan sesi parlemen baru.
Menurut pihak militer Myanmar, kudeta ini sebagai tanggapan atas kecurangan pada pemilu 8 November 2020 lalu. Dalam pemilu tersebut, diduga terjadi banyak kecurangan yang mengakibatkan NLD, Partai Liga Demokrasi, menang mutlak. Kecurangan yang tidak ditanggapi serius ini menyebabkan pihak militer memutuskan untuk melakukan kudeta.
“Militer mengatakan telah melakukan penahanan sebagai tanggapan atas kecurangan pemilu,” jelas militer Myanmar seperti dilansir Reuters.
Dalam video yang disiarkan oleh televisi milik militer, kekuasaan telah diserahkan kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Presiden Myanmar Win Myint dan Pemimpin de facto Aung San Suu Kyi serta benyak pejabat pemerintahan lainnya menjadi tahanan rumah. Komite Eksekutif NLD menuntut pembebasan semua tahanan secepat mungkin.

“Itu semua berisiko sekarang, negara ini telah terpukul parah oleh Covid dan berkurangnya keinginan untuk berinvestasi. Dan sekarang kita memiliki ini,” ungkap Manajer Hans Vriens, Konsultan Urusan Pemerintah yang melihat dampak ekonomi dari kudeta ini.
Kudeta ini juga menuai berbagai kritik dari dunia internasional. Amerika Serikat bahkan mengancam akan memberlakukan kembali sanksi kepada para pejabat militer yang memicu aksi kudeta ini. PBB juga menyatakan Myanmar dalam status darurat dan ingin segera mengadakan pertemuan guna membahas perihal kudeta di negeri seribu pagoda ini.
Kendati demikian, kudeta ini justru dipandang baik oleh Pengungsi Rohingya di Bangladesh, pengungsian Rohingya terbesar di dunia. “Jika otoritas kamp mengizinkannya, Anda akan melihat ribuan Rohingya keluar dalam pawai perayaan,” kata Mirza Ghalib, seorang pengungsi, kepada AFP pada Selasa (2/2/2021).
Maung Kyaw Min, juru bicara Serikat Mahasiswa Rohingya, mengatakan sekarang ada peningkatan harapan bahwa Rohingya dapat kembali ke kampung halaman mereka di Myanmar.
“Tidak seperti pemerintah terpilih, (pemerintah) militer ini akan membutuhkan dukungan internasional untuk bertahan. Jadi kami berharap mereka fokus pada isu Rohingya untuk mengurangi tekanan internasional,” ujarnya.
Selama ini, Aung San Suu Kyi memikul kemarahan dunia atas krisis yang terjadi di Rohingya. Meski demikian, banyak analis yang meragukan kudeta ini akan berdampak siginifikan terhadap nasib para pengungsi Rohingya. Hal ini mengingat bahwa Ming Aung Hlaing, kunci yang kini memegang kendali di Myanmar, juga terlibat dalam berbagai tindak kekerasan terhadap para pengungsi Rohingya. (mus)