Ketum YLBHI Sentil Pemerintah Soal Istilah PPKM dan PSBB hingga Represifitas Aparat

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. (Foto: tangkapan layar YouTube)

Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati bertanya-tanya dan mengaku heran karena pemerintah tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan untuk menjalankan kewajiban dalam penanganan pandemi virus corona.

Akan tetapi, UU Kekarantinaan tersebut dipakai untuk memberikan sanksi kepada warga negara yang terbukti melanggar aturan pembatasan yang telah ditetapkan.

“Kalau sanksi kenapa menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, tapi ketika penerapan kekarantinaan kenapa pakai yang bukan UU (yang sama),” kata Asfin dalam konferensi pers daring “Koalisi Warga Akses Kesehatan”, Minggu (18/07/21).

Menurutnya, pemerintah terkesan menghindari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Hal ini, lanjutnya, terlihat dari berbagai istilah kebijakan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah beberapa waktu terakhir.

Seperti Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) dan saat ini pemerintah tengah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Sebelumnya, pemerintah telah memberlakukan kebijakan PPKM Mikro.

Padahal, dalam UU 6 Tahun 2018 diatur soal karantina wilayah ketika terjadi kedaruratan kesehatan. Dalam UU itu pula disebutkan bahwa selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

“Jadi ketika pembatasan pemerintah gunakan yang lain dan jelas itu maksudnya untuk mengakali hukum agar kewajiban yang ada di UU 6/2018 tidak dipenuhi pemerintah dan tidak diberikan kepada masyarakat,” ucap Asfin.

Asfinawati juga menyebut bahwa pendekatan pemerintah dan aparat terhadap warga selama pandemi ini cenderung represif. Dan ini terbukti dengan banyaknya aksi represifitas aparat dalam menertibkan masyarakat beberapa waktu terakhir, dan bahkan ada beberapa kejadian yang viral di media sosial.

Ia menilai, pemerintah menggunakan paradigma kuno, yaitu menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer.

“Kami menyesalkan ketika UU 6/2018 itu sudah demikian maju, itu UU yang sangat progresif, kok tiba-tiba pejabat publik mengembalikan kedaruratan dalam kacamata kuno, dalam kacamata keamanan atau bahkan pertahanan negara,” kata Asfinawati.

“Kedaruratan kesehatan masyarakat ini harus didekati dengan persoalan kesehatan dan tidak akan berhasil dengan pendekatan pertahanan dan keamanan, selain argumen HAM terkait kebebasan pastinya,” sambungnya. (Dbs/mra)