Awal Ramadan, FNKSDA Wonosobo Tadarus Film “Kinipan”

Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), saat ‘tadarus’ Film Kinipan di Waroeng Ndeso, Kalibeber, Wonosobo. (Foto: Dok. 5NEWS.CO.ID)

Wonosobo, 5NEWS.CO.ID,- Bulan Ramadhan telah tiba, di bulan yang penuh berkah ini diriwayatkan banyak keutamaan dan pahala yang berlipat saat melakukan ibadah dan amal kebajikan.

Dan bagi Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), salah satu ibadah utama di bulan suci Ramadhan adalah ‘tadarus’ film dokumentasi karya Watchdoc, ‘Kinipan’.

“Memang kita sengaja nobar di awal Bulan Ramadhan, karena Ramadhan itu kan bulan kemenangan,” terang Amat Pratama, aktifis FNKSDA Wonosobo, Selasa 13 April. “Agar gerakan membela rakyat menang.”

FNKSDA bekerjasama dengan PMII menggelar nobar film dokumentasi berdurasi 2,5 jam lebih ini dari pukul 2 siang hingga menjelang Maghrib di Waroeng Ndeso, Kalibeber, Wonosobo. Diguyur hujan deras, penonton yang hampir semua mahasiswa ini khusyuk mendarus film Kinipan.

Menurut Amat, usai mengkhatamkan Kinipan bersama kawan-kawannya, film ini menggambarkan persoalan akut kerusakan ekologi di Indonesia. Termasuk di Wonosobo.

“Menurut saya (kerusakan) ini juga potensial terjadi di Wonosobo,” ujar Amat.

“Di sini ada isu geothermal dan galian C misalnya. Ini bisa berdampak pada masyarakat dan lingkungan.”Apalagi dengan adanya UU cilaka Omnibus Law,” tambahnya.

UU Omnibus Law menurut Amat sangat berbahaya dan menyumbang kerusakan besar pada alam. Karena memperbolehkan pengurangan lahan hutan serta tidak menghukum perusahaan yang membakar hutan. Serta menganaktirikan masyarakat setempat.

Sementara Puput Novita, anggota PMII dari UNSIQ Kalibeber usai menonton film Kinipan merasa sedih. Pasalnya film Kinipan mengungkap bahwa yang merusak hutan ternyata justru pihak yang mestinya menjaganya: Negara.

“Saya sedih, ternyata kerusakan alam di Indonesia itu yang mendalangi pengusaha yang itu justru dibantu negara,” kata Puput.

“Kita percaya dan berharap negara memperbaiki alam yang rusak, ternyata kebalikannya, malah ikut merusak,” tambahnya setengah tak percaya.

Hadir juga ikut nobar film Kinipan mahasiswa asal Pontianak, Kalimantan, Dzulfahmi. Pemuda yang kuliah di Institut Ilmu Al-Qur’an Bantul ini menyebut selama ini masyarakat Kalimantan sendiri kurang sadar akan kerusakan besar oleh perusahaan sawit di sana pada alam dan masyarakat adatnya.

Banyak yang akhirnya tertipu ikut menanam sawit, tapi harga dipermainkan dan ujung-ujungnya warga terpaksa menjual tanahnya. “Orang Kalimantan jadi buruh di tanahnya sendiri!” kata Dzulfahmi, terlihat sedih.

Usai menonton film Kinipan ini mahasiswa-mahasiswa yang tergabung di PMII & FNKSDA semua mengungkapkan kekhawatirannya akan rusaknya alam yang juga terjadi di Wonosobo. Mereka komitmen akan ikut bergerak membangun kesadaran dan melindungi lingkungan tempat mereka tinggal.

‘Kinipan’ adalah film dokumenter yang bercerita soal pandemi Covid-19, omnibus law, dan lumbung pangan. Disutradarai oleh sineas Dandhy Dwi Laksono dan Indra Jati, film ini memotret kerusakan hutan di Kinipan, Kalimantan Tengah, perjuangan masyarakat adat Dayak melindungi hutan mereka dan bola salju Omnibus Law yang menghimpit mereka.

Film ini telah diputar di berbagai penjuru Indonesia oleh komunitas-komunitas kerakyatan yang peduli pada kerusakan alam Indonesia yang kian parah, di mana negara justru menjadi aktornya. (Muh)