Oleh Ahmad Alief
Meski Organisas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah dibekukan pemerintah, namun tidak dengan idiologi dan pentolan-pentolannya. Seperti Mantan Jubir HTI Ismail Yusanto atau aktifis dakwah Felix Siauw. Keduanya masih bebas berbicara dan menebar ideologi HTI dan narasi anti pemerintah yang sah.
Padahal di negara-negara yang memberlakukan pelarangan HTI, dengan otomatis menangkapi siapapun yang menyebarkan ideologi terlarang itu. Seperti Malaysia, Turki dan Saudi. Dengan tegas membungkam anti pemerintah dengan penjara tanpa pengadilan.
Seperti baru-baru ini, saat Ijtima IV digelar di Bogor, pentolan HTI Ismail Yusanto menuduh pemerintah yang sah sebagai penganut ideologi islamofobia. Sebuah tuduhan tidak berdasar, tidak masuk akal dan berbahaya.
Menuduh penguasa di negara mayoritas Muslim tapi anti Islam? Sungguh aneh.
Dengan dalih pemerintah mempersulit Ormas Front Pembela Islam (FPI) dalam perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kemudian Yusanto menuduh pemerintah anti Islam, menuduh Presiden Jokowi mengidap Islamofobia.
“Jadi bukan hanya soal politik, tetapi juga ideologi. Namun, ideologi di sini, ideologi sebutlah ideologi islamofobia,” kata Yusanto selepas acara Ijtimak Ulama dan Tokoh IV di Sentul, Bogor, Senin (5/8/2019).
Yusanto menuduh pemerintah sudah kadung islamofobia, sehingga menganggap diksi khilafah nubuwwah sebagainya ideologi HTI yang masuk AD/ART FPI itu berbahaya bagi negara.
Menurutnya, di jaman presiden sebelum Jokowi, SKT FPI tidak pernah dipermaslahkan. “FPI bukan sekali dua kali mengajukan perpanjangan, tetapi sebelumnya tidak pernah mengalami kendala. Ada apa? Mengapa?” Tanyanya.
Sebagaimana diberitakan, FPI hingga kini belum mengantungi surat rekomendasi Kementerian Agama yang menjadi prasyarat mendapatkan SKT dari Kementerian Dalam Negeri.
Alasan Kemenag belum memberikan surat rekomendasi karena adanya syarat-syarat yang belum terpenuhi, diantaranya soal kesetiaan terhadap negara dan soal NKRI Bersyariah yang berpotensi sisipan agenda organisasi terlarang HTI.
Yang patut dipertanyakan, kenapa ijtima ulama IV justru mengundak eks pentolan Ormas yang sudah dilarang pemerintah? Kenapa FPI disusupi dan sejalan dengan agenda ideologi HTI? Kenapa Ijtima Ulama IV menjadi perkumpulan segelintir ulama yang anti kepada pemerintah? Dan menggiring umat agar benci ke pemerintahan yang sah pasca pemilu?
Slamet Maarif, salah satu panitia ijtima menyebut wajar jika Ismail Yusanto diundang ke acara itu, alasan Slamet karena Yusanto adalah tokoh yang diakui di Indonesia. “Ismail juga satu di antara aset bangsa yang perlu dihargai,” kata Slamet yang justru tanpa melihat kiprah dan ideologi HTI diberbagai negara, yang justru berbahaya.
Slamet menambahkan, alasan lain karena Yusanto memiliki basis pengikut massa yang banyak, maka layak didengar pendapatnya dalam Ijtimak Ulama IV.
Seperti diketahui saat pembacaan hasil Ijtima, narasi untuk antike pemerintah dan tidak mengakui hasil pemilu yang sah pada April 2019 silam mengemuka begitu kuat.
Ijtima itu sendiri adalah perkumpulan ulama yang memang dari awal anti dengan pemerintah Jokowi.
Tidak heran jika hasilnya pun tak jauh dari narasi-narasi sumir selama ini, yang selalu membawa nama umat Islam untuk memojokkan umat Islam yang lain. Wallohualam. (mas)