Palu – Irsan Alisatu, biasa dipanggil pak Sa oleh penduduk sekitar. Merupakan salah satu korban kejadian gempa 7,4 Mw di Palu 28 September 2018 silam.
Bapak dua anak ini merupakan orang yang paling kehilangan di dusun Talise, kelurahan Panau Kecamatan Tawaili Palu Sulawesi Tengah. Warga RT 2 RW 4 itu rumahnya rata dengan tanah diguncang gempa. Juga kehilangan istri tercinta dan putri sulungnya, Wita yang masih kelas 1 SLTA.
“Kehidupannya sederhana,” ujar Edi (40) Rabu, (30/1/2019) saat menemani pak Sa. Edi senantiasa mendampingi pak Sa yang sempat hilang semangat akibat bencana.
Pak Sa pendengarannya terganggu, agak tuli sejak lahir. Sehingga kesulitan ketika diajak bicara, Edi lah yang menjelaskan hal ihwal pak Sa ini.
Sehari-hari sebelum Tsunami, pak Sa pergi ke laut menjaring ikan. Berangkat pagi pulang siang, nanti malam berangkat lagi. Namun sejak Tsunami mnerjang empat bulan silam, tak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan.
Pak Sa dan nelayan lain blum bisa melaut lagi karena perahu mereka dengan kisaran lima juta hancur ditelan gelombang Tsunami, ujar Edi.
Jika musim ikan dan harga bagus, pak Sa bisa tiga kali melempar sauhnya ke laut. Jika ikan sudah penuh ia kembali ke darat untuk menurunkan ikan lalu kembali ke laut.
Pak Sa sekarang tinggal bersama anak bungsunya yang masih duduk di kelas 6 sekolah darurat SD inpres 10. semangat itulah yang membuat pak Sa bangkit dari keterpurukan akibat bencana. Ia tak ingin menyia-nyiakan harta berharganya yang masih ada, Via.
“Saat awal bencana pak Sa banyak termenung, sering berjalan sendiri dari tenda penampungan ke pesisir memandang selat Palu,” lanjut Edi.
Jika ada perahu bantuan dari mana saja, sayalah orang pertama yang turun ke laut, lanjut Edi menirukan semangat pak Sa.
Pak Sa sendiri, kakinya patah tertimpa reruntuhan rumahnya, namun sekarang sudah kembali bisa berjalan.
Keinginan lain pak Sa adalah membangun pondokan sederhana dari kayu di sepetak tanah miliknya dekat pesisir Talise. Pak Sa mengaku sudah menderita di pengungsian. Kepanasan dan tendanya kebanjiran jika hujan. Ia lebih memilih tinggal di gubuk sederhana. Dan sekarang ia mulai mengumpul satu dua kayu dan membersihkan lahan miliknya.
Edi sering mengajak pak Sa melihat-lihat korban gempa yag lebih parah kondisinya dari dirinya di tempat lain; Mamboro, Pantai Barat dan semua pesisir yang terdampak.
“Mana yang lebih buruk, kamu atau mereka? Apakah mau kembali melaut atau ke gunung mengungsi?” Tanya Edi ke pak Sa suatu masa, dan pak Sa memilih kembali ke pelukan lautan yang selama ini akrab dengannya.
Dia ingin bangkit kembali, dia berjanji akan menyekolahkan anaknya sampai selesai, inilah kunci semangat hidupnya kini.
Pak Sa meski di tengah keterbatasannya, tidak ingin merepotkan sodaranya yang lain. Ia ingin mandiri.
“Ia kehilangan semua miliknya, namun hanya satu yang tak hilang yaitu harga dirinya,” puji kawan dekat pak Sa ini.
Memang masyarakat sekitar yang rumahnya hancur, ada 68 rumah, lebih memilih kembali membangun hunian mereka di atas tanah mereka sendiri. Dari pada menghuni hunian sementara di gunung, yang jauh dari laut.
“Saya kalau dilarang membangun lebih baik mati. Memilih mati di tempat saya sendiri dari pada mati di tempat lain. Di sini tempat darah kami, tempat kami dilahirkannya,” begitu kesepakatan warga ujar Edi. (mas)