ANNAS, Tradisi Syiah dan Pelanggaran Aturan Keormasan

Kapolda Bengkulu Brigjen Pol Drs. Supratman, MH dalam prosesi pembuangan Tabot ke Karabela, Selasa (10/09/2019) siang.

Penulis: Umar Husain

ANNAS, Sekilas Pandang

Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) adalah sebuah organisasi ke-ormasan yang berdiri 20 April 2014  silam. Dalam piagam deklarasinya, ANNAS mengatakan bahwa tujuan pendirian ‘lembaga’ ini diantaranya adalah amar ma’ruf nahi munkar, sementara dalam butir lain tertulis ‘menjalin ukhuwah islamiyah dengan berbagai organisasi dan gerakan dakwah di Indonesia, untuk mewaspadai, menghambat dan mencegah ajaran sesat syiah’. Dengan kata lain, obyek dari kegiatan organisasi kemasyarakatan itu adalah Syiah.

Berbeda dengan kalimat yang tercantum dalam piagam deklarasinya, ANNAS justru menjalankan organisasinya itu dengan berbagai macam penyimpangan dan pelanggaran dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Lebih jauh, ANNAS bahkan  melalaikan kewajibannya sebagai ormas, serta terindikasi melakukan pelanggaran atas larangan-larangan ormas sebagaimana yang tertuang dalam UU No.17 Tahun 2013 yang di perbaharui dengan Perppu No. 2 Tahun 2017.

Syiah di Indonesia

Prof A Hasjmy, dalam bukunya yang berjudul Syiah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara menuliskan Syiah masuk Aceh sejak tahun 173 Hijriah atau tahun 800 Masehi.  Selang 40 tahun kemudian yakni 1 Muharram 225 Hijriah berdirilah Kerajaan Islam Peureulak yang diperintah oleh Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah, seorang dzuriyah penganut Syiah. Syiah kemudian menyebarkan pengaruhnya ke Kerajaan Islam Samudra Pase yang semula didirikan oleh tokoh aliran Ahlus Sunnah, Meurah Giri, pada 433 Hijriah atau 1042 Masehi.

Hingga kini, tradisi-tradisi Syiah masih tetap terjaga dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya nusantara. Ritus-ritus Tabut di Bengkulu, Sumatera dan Gerebek Sura di Yogyakarta dan Ponorogo adalah tradisi Syiah. Tradisi arak-arakan Hayok Tabui di Pariaman, Sumatera Barat yang digelar setiap Muharram kental dengan ‘warna’ Syiahnya. Tradisi itu sebagai peringatan tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi SAW Sayyidina Husain.  Seorang peneliti Pusat Pengkajian Pengembangan Sumber Daya (P3SD) Padang bernama Hendri Teja mengatakan bahwa ritus Tabuik itu peninggalan Islam Syiah di Pariaman.

Tradisi yang terpelihara selama ratusan tahun itu, masih ‘hidup’ dalam peringatan-peringatan Asyura, setiap tanggal 10 Muharam yang digelar di berbagai daerah dan terus dilestarikan oleh muslim Syiah di Indonesia.

Upaya-upaya yang dilakukan ANNAS bisa dikatakan sebuah upaya ‘penghapusan’ jejak sejarah Islam tertua di bumi NKRI dan pemusnahan kelestarian sebuah budaya yang berjalan turun temurun berabad silam. Dikaitkan dengan kelompok dan negara afiliasinya, yang tak segan memusnakan jejak-jejak peninggalan sejarah, bahkan meratakan kompleks pemakaman Baqi’ dengan tanah, tak heran upaya ini begitu masif dilakukan ormas itu di bumi Indonesia.

ANNAS dan Acara Asyura

Terkait Asyura, sebuah acara peringatan tragedi wafatnya sayyidina Husain,cucu Nabi Muhammad SAW  setiap 10 Muharam. ANNAS mengirimkan surat permohonan kepada Kapolri untuk tidak mengizinkan kegiatan peringatan Asyura beberapa hari lalu. Dalam suratnya yang bertanggal 10 September 2018 itu, ANNAS menyebutkan permohonannya kepada Kapolri agar menginstruksikan kepada seluruh Kapolda dan Kapolres untuk tidak mengeluarkan izin untuk kegitan tersebut.

Disebutkan dalam surat permohonannya, bahwa kegiatan Asyura berisikan ‘kecaman dan penistaan’ terhadap istri-istri Nabi SAW dan para sahabat. Sebuah tema yang belum pernah disebutkan sekalipun dalam sejarah penyelenggaraan acara peringatan tragedi wafatnya cucu Nabi SAW itu. Lagi-lagi, kandungan surat ANNAS bernada provokatif.

Di bagian akhir suratnya, ANNAS mengkhawatirkan terjadinya konflik horizontal, sebagai akibat dari acara tersebut. Rekam jejak kegiatan ANNAS yang cenderung intoleran dan sarat dengan ujaran kebencian, menunjukkan bahwa gerakan ANNAS telah memicu dan menimbulkan semangat permusuhan, jauh dari  toleransi dan cenderung  memecah belah umat. Hal yang belum pernah sekalipun dilakukan oleh muslim Syiah.

Catut Nama Tokoh dan Ormas Lain

Dalam acara pelantikan pengurus ANNAS Bogor Raya pada bulan November 2015lalu, ANNAS disinyalir  mencatut nama Wali Kota Bogor, Bima Arya dan mencantumkan logo NU dalam selebaran undangan. Kala itu, Ketua PCNU Bogor Ifan Haryanto menyatakan keberatan dengan pencantuman logo NU dalam selebaran tersebut, bahkan mengancam akan melaporkan kepada pihak kepolisian, jika panitia tidak merevisi dan menghapus logo NU di dalamnya. Sementara Bima Arya menyangkal akan hadir dan membuka acara itu, sebagaimana yang mereka cantumkan dalam selebaran.. Wali Kota Bogor itu bahkan sempat mengancam untuk tidak mengeluarkan izin untuk acara tersebut.

Sebelumnya, PCNU Balikpapan,Kalimantan Timur juga menegaskan ancaman yang sama atas tindakan serupa yang dilakukan ANNAS dalam aksi deklarasi anti syiah di kota itu.

Aturan Keormasan

Seluruh organisasi kemasyarakatan (ormas) terikat dengan sebuah aturan perundang-undangan, yakni Undang Undang No. 17 tahun 2013 dan Perppu No,2 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan. ANNAS,sebagaimana ormas-ormas yang lain juga berdiri dan berjalan dalam koridor aturan ini.

Sesuai pasal 21 UU No.17 tahun 2013, poin (b) disebutkan bahwa kewajiban sebuah ormas adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah yang ormas berdiri dan berjalan dengan semangat sektarian, tidak menghargai perbedaan dan cenderung intoleran, keberadaannya hanya akan menimbulkan konflik dan gesekan antar kelompok.

Dalam hal ini, ANNAS telah menyimpang dari sila-3 Pancasila dan menjadi sebuah lembaga masyarakat yang berperan dalam memprovokasi umat, menciptakan keresahan serta jauh dari semangat sila ke-3 itu. Lebih jauh, belum terlihat upaya apapun dari ormas ini dalam melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam undang-undang, bahkan cenderung memecah belah antar kelompok keumatan.

Poin berikutnya, poin (c) UU No.17 tahun 2013 disebutkan bahwa setiap.ormas, berkewajiban untuk memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat. Berbicara tentang budaya, Islam Syiah telah mewarnai kebudayaan Islam di bumi Indonesia sejak 12 abad sebelum ANNAS dilahirkan. Memprovokasi umat dengan racun kebencian terhadap kelompok ini, dapat diartikan sebagai gangguan dan upaya penghapusan budaya yang telah ada dan berkembang di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam.

Dalam pasal 28 dan 29 UUD 1945 disebutkan bahwa ‘setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dankeyakinannya.. Mungkin menurut  ANNAS kelompok muslim Syiah bukan warga negara Indonesia yang dijamin hak-nya oleh UUD 1945. Atau mungkin pakar-pakar hukum organisasi itu sudah menganggap UUD 1945 bukan dasar konstitusi negara dan tidak terikat dengannya, sehingga mereka merasa berhak menghalangi warga negara Indonesia dalam meyakini dan beribadat sesuai dengan keyakinannya.

Poin (d) UU No.17 tahun 2013 menyebutkan bahwa setiap ormas berkewajiban untuk menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat. Selain aksi-aksi demo yang dilakukannya, ormas ini juga kerap membuat resah masyarakat dengan mencatut nama besar ormas dan tokoh lain. Mungkin ‘klaim’ sepihak dan mengaku-ngaku sudah menjadi ‘tradisi’ ormas itu.

Pelanggaran Larangan Ormas

Dalam Perppu no.2 tahun 2017 sebagai perubahan UU No. 17 Tahun 2017pasal 59, disebutkan bahwa setiap ormas dilarang untuk:

(a) Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama,
ras, atau golongan;

(b) Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan
terhadap agama yang dianut di Indonesia;

(c) Melakukan kegiatan separatis yang mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(d) Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak
fasilitas umum dan fasilitas sosial;

Dihadapkan pada pasal 59 ini, ANNAS telah menunjukkan pelanggarannya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Gerakan dan aksi permusuhan terhadap sebuah golongan, yaitu muslim Syiah.
  2. Menyalahgunakan agama Islam sebagai agama ‘rahmatan lil alamin’ dalam menjalankan gerakan dan aksinya yang beraroma provokatif, intoleran dan penuh ujaran kebencian, dan sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.
  3. Mengganggu ketentraman umat beragama,khususnya kelompok muslim Syiah, dalam meyakini dan menjalankan ibadah sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945.

Setiap orang akan memahami bahwa kegiatan dan aksi segelintir orang yang memiliki ‘tradisi buruk’ dalam mencatut nama besar agama, umat, ormas bahkan tokoh serta pejabat, dan menggunakannya demi kepentingan kelompoknya sendiri adalah tindakan yang menyimpang dan jauh dari norma agama. Agama Islam tidak mengajarkan hal itu.

Pihak aparat dan lembaga pemerintah selalu mempertimbangkan setiap masukan dari pihak-pihak terkait dalam menyikapi sebuah permasalahan. Dan memutuskannya berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Institusi Negara seperti Kepolisian RI,bukan masyarakat awam yang mudah diprovokasi, mereka memiliki standar tersendiri dalam menyikapi sebuah persoalan.

Ada baiknya  jika ormas semacam ini ditinjau kembali untuk dihapuskan,mengingat kiprahnya yang jauh dari semangat persatuan dan kesatuan dan kerukunan antar umat beragama dan golongan, sebagaimana diatur dalam Pancasila dan UUD 1945. Dikhawatirkan ormas dalam bentuk ini, akan menumbuhkan aliansi-aliansi lain yang serupa, hingga tumbuhlah ormas-ormas anti kelompok tertentu yang menyebabkan ketidak harmonisan dalam interaksi di dalam maupun di luar lingkup keumatan.

Komentar