Penulis: Muhammad Muhyidin
Kilas balik sejenak: Adanya reuni 212 karena adanya aksi bela Islam 212. Aksi itu muncul atas inisatif FPI dan GNPF MUI mereaksi Ahok dalam kasus al-Maidah. Meskipun MUI sendiri telah menyerukan tak perlunya aksi-aksi lanjutan setelah Ahok berhasil digiring ke Mako Brimob, GNPF MUI berubah bajunya menjadi GNPF Ulama, lalu nyaru menjadi persaudaraan alumni 212.
Tak ada yang lebih lucu dari metamorphosis aneh ala bani kampret ini. Tak perlu bicara akal sehat, sebab nyatanya akal mereka terbalik. Mungkin saja, meskipun manusia dan malaikat bersatu padu menjelaskan bahwa gerakan 212 adalah gerakan politis yang memperalat agama, tetap saja mereka berteriak-teriak bela Islam bela ulama. Andaikan para malaikat menjadi lelah mengingatkannya, mereka justru makin kenceng teriakannya.
Sampai di sini sebenarnya saya memyerah. Menyerah untuk menulis tentang mereka ini. Tapi 212 selalu berisik. Sulit menalar bagaimana menghadapi gerombolan yang ngotot merasa benar. Meskipun alumni 212 pecah, dan kedok memperalat agama terbongkar secara terang-benderang, tetap saja mereka merasa selalu benar, bela Islam, bela ulama.
Aih-aih, soal kata “alumni” sendiri sudah lucu. Hanya gara-gara ikut aksi di Monas tak lebih dari satu hari, mereka menyebut dirinya sebagai “alumni”. Lebih lucu lagi pernyataan Fazli Zon yang menganggap Jokowi sebagai alumni 212 jika Jokowi berkenan hadir pada kegiatan alumni 212!
Saya pingin tertawa terpingkal-pingkal jadinya tapi takut pahala! Apa hubungannya Jokowi dengan aksi 212 coba? Tetapi demi tetap menjaga rating bahwa 212 punya bargaining potition di ranah publik, Jokowi pun harus diseret-seret ke alumni 212.
Persis seperti pernyataan Sandiaga Uno. Entah ia medapatkan bisikan dari petai atau akibat dari jurus bangau-nya sambil ngunyah tempe setipis ATM, Uno berharap Jokowi dan Prabowo akan berpelukan. Berpelukan di acara reuni alumni 212!
“Saya dengar presiden juga akan hadir,” begitu kata Uno. Jangan bertanya, Uno dengar dari mana. Sebab, sekali lagi, Jokowi tak ada hubungannya sama sekali dengan gerakan 212. Situasiya tentu berbeda 180 derajat celcius dengan Prabowo atau Anies sekalipun. Kalau Prabowo hadir di acara reuni tersebut, ya itu wajar sebab kepentingan 212 adalah kepentingan Prabowo-Uno sendiri.
Tapi kenapa Uno mendengar presiden akan hadir? Dengar darimana? Benarkah Jokowi akan hadir?
Sebentar…. Tak perlu dijawab dulu. Ini adalah permainan isu. Suatu isu yang dilontarkan untuk meraih posisi tawar yang tinggi. Menggiring Jokowi untuk hadir ke reuni 212, sama dengan memanfaatkan peluang yang sangat tinggi menaikkan level alumni 212 agar dianggap punya kekuatan besar.
Tak peduli apakah Jokowi menggubris 212 atau tidak, dengan menggiring opini melalui pernyataan bahwa Uno mendengar Jokowi akan hadir di acara alumni 212, ini adalah siasat culas menaikkan level 212 itu sendiri. Ya, siapa tahu Jokowi terpancing untuk hadir. Nah, kalau sudah seperti itu, level 212 memang telah naik dan sangat layak untuk diperhitungkan!
Bila Jokowi hadir, selain level gerakan 212 naik, ratingnya tinggi, maka akan semakin mudah gerakan 212 memainkan kepentingan politisnya. Umat yang terbius dengan gerakan ini makin terbius seakan-akan umat benar-benar berada pada kebenaran tunggal pengawal surga.
Di saat yang sama, Jokowi sendiri—bila memang hadir sesuai yang diharapkan mereka—levelnya menjadi turun. Turunnya level Jokowi secara otomatis menaikkan level Prabowo-Sandi. Akan semakin menarik jika skenarionya seperti ini: Pasca reuni alumni 212 yang dihadiri Jokowi, lembaga-lembaga survei membikin survei elektabilitas untuk melihat seberapa besar prosentasi kenaikan elektabilitas Prabowo-Sandi.
Harapannya, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf, pada waktu yang sama, menjadi turun. Nah, nah, nah, semakin mendekati April 2019, semakin turun. Lalu, seperti yang dikatakan Amin Rais pada pertemuan dengan beberapa kandidat dan peserta muktamar Pemuda Muhammadiyah, April menjadi bulan syukuran besar.
Syukuran apa? Ialah Jokowi tumbang!!
Take a beer!!!