Pati, 5News.co.id,- Habib Anis Sholeh Ba’asyin mengatakan pengharaman ucapan Natal tidak lagi relevan dan perlu dikaji ulang. Menurutnya, sejarah pengharaman ucapan Natal itu muncul sebagai dampak dari perang salib. Oleh karena itu perlu ditinjau dan dikaji kembali, agar lebih sesuai dengan etika pergaulan jaman kini.
“Sejauh pengetahuan saya, pengharaman ucapan Natal sebenarnya muncul sebagai dampak langsung dari perang Salib. Pengharaman ini muncul di banyak kitab fiqh, meski dasar dan illatnya sebenarnya tidak kokoh amat. Dalam konteks sekarang, saya kira pengharaman ini tidak relevan dan perlu ditinjau ulang,” ungkap Habib Anis kepada 5News.co.id, Jumat (28/12) siang.
Mengulas narasi karya Karen Amstrong, Habib Anis mengatakan, apa yang diungkap oleh Karen Armstrong (KA) menjadi menarik dan penting bila diletakkan pada konteks Islamphobia dan penyalah-fahaman Islam yang semakin menguat akhir-akhir ini.
“Bukan hanya dalam artikel ini, tapi juga dalam banyak buku-bukunya, KA sering menunjukkan betapa besar apresiasi dan betapa dekat hubungan Islam dan umatnya dengan Isa alaihi salam,” kata dia.
Dia menjelaskan bahwa apresiasi dan kedekatan itu sempat tergerus akibat perang salib dan wacana benturan peradaban yang digaungkan akhir-akhir ini.
Meski banyak sejarahwan meragukan sumber tentang peristiwa gambar Maryam dan bayi Isa alaihi salam (juga sumber tentang gambar Ibrahim alaihi salam seperti yang diungkap oleh Martin Lings); tapi ini tak mengurangi substansi pemikiran KA tentang kedekatan dan kekayaan hubungan antara Islam, ummat Islam dengan Isa alaihi salam dan kalangan Nasrani, tutur Habib Anis.
“Saya kira, sebagai bagian dari ummat manusia, sejak awal seorang muslim diajari untuk saling menghormati manusia lain, apa pun latar belakangnya. Dalam konteks ini, memberikan ucapan selamat ketika ada saudara atau tetangga sedang merayakan hari besar keagamaannya; adalah hal yang wajar dan niscaya dalam pergaulan sosial yang sehat,” ujarnya.
Habib Anis juga menyebutkan bahwa pengerasan sikap biasanya bermula dari penyempitan pandangan keagamaan, dan penyempitan itu biasanya bermula dari miskinnya perspektif yang digunakan dalam melihat suatu masalah.
“Maka yang saat ini mendesak dilakukan adalah dibuka kembalinya pintu keluasan pandangan dan kekayaan perspektif agama,” tegasnya.(hsn)