
Pati, 5NEWS.CO.ID,- Suluk Maleman edisi ke 114 bertajuk “Pandemi Ahmaqiyah” yang digelar secara daring pada Sabtu (19/6/2021) mengulik persoalan pandemi COVID-19. Sejumlah tokoh selaku narasumber dalam ngaji budaya tersebut memberikan sejumlah masukan bagi para pemangku jabatan. Anis Sholeh Baasyin menekankan pentingnya keterbukaan informasi COVID-19 kepada masyarakat. Ia menyebut ketidakjelasan informasi membuat masyarakat bingung dan paranoid.
Penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Baasyin menyebut, keterbukaan informasi dan transparansi data soal COVID-19 penting dilakukan dalam penanganan pandemi. Ketidak jelasan informasi ditambah muncul banyaknya hoaks membuat masyarakat kebingungan.
“Akhirnya yang terjadi ada dua hal kalau tidak membuat masyarakat paranoid atau ketakutan luar biasa juga bisa membuat warga justru menjadi abai dan tidak peduli,” ujar Anis Sholeh Baasyin saat berbicara di acara Suluk Maleman, Sabtu (19/6/2021) malam.
Menurut Anis, gelombang pandemi kali ini salah satunya diakibatkan oleh kurang transparannya data yang beredar. Ditambah kenyataan semakin kendornya tindakan Testing, Tracing dan Treatment (3 T) oleh pemerintah. Padahal data tentang ini menjadi sangat penting untuk menjaga kewaspadaan masyarakat sekaligus menjadi sistem pengingat dini terhadap bahaya yang mungkin akan datang
Pada kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daerah Istimewa Yogyakarta Dr Darwito menekankan pentingnya peran pemerintah daerah menggandeng kalangan akademisi dan epidemiolog. Ia juga menyebut pentingnya keberadaan tempat isolasi terpusat atau shelter.
Menurut dia, shelter diperlukan untuk mencegah kolapsnya daya tampung rumah sakit karena kelebihan kapasitas sekaligus mencegah OTG atau mereka bergejala ringan memperluas penularan sehingga membuat ledakan kasus.
“Seharusnya Pemkab bisa menggandeng epidemiolog untuk pengambilan kebijakan. Harusnya ada pemilahan yang jelas. Rumah sakit hanya disiapkan bagi pasien yang bergejala sedang sampai berat. Untuk yang bergejala ringan, apalagi tanpa gejala, cukup di tempat isolasi terpusat. Jangan di rumah kalau tidak memiliki fasilitas yang memadai,” kata Dr Darwito.
Narasumber lain, Dr Abdul Jalil menambahkan datangnya hari raya Idul Adha juga patut mendapatkan perhatian serius. Terlebih dalam prosesi penyembelihan hewan kurban yang dinilai rawan menyebabkan kerumunan warga.
Dr Abdul Jalil juga mendesak pemerintah untuk lebih transparan terkait data COVID-19. Terkait ledakan kasus COVID-19 di Kudus misalnya, Abdul Jalil menyebut bahwa data yang dipublikasi selama ini tidak transparan. Dia pun menyesalkan pernyataan Menteri Kesehatan yang mengkambing-hitamkan wisata religi sebagai pemicunya.
“Di Kudus sendiri ada sekitar 800 masjid. Jika dihitung dengan mushala ada sekitar 1800an. Ini potensi kerumunan luar biasa. Kalau tidak diantisipasi akan meledak lagi. Tapi sampai sekarang ini belum ada skenario penanganan apapun,” ungkap Dr Jalil.
Sementara itu, Prof. Dr. Saratri Wilonoyudho berpendapat bahwa selain transparansi dan sistem pendataan yang baik, perlu juga adanya pendekatan sosial budaya dan keagamaan dalam penanganan COVID-19. Terutama komunikasi antar pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah, aparat, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun akademisi.
Menurut Saratri, tanpa ada keterbukaan dan kerja sama yang baik dari para pemangku kepentingan ini; penanganan menyeluruh terhadap pandemi kali ini akan jauh panggang dari api.
Meski digelar melalui streaming, Suluk Maleman edisi ke 114 bertema “Pandemi Ahmaqiyah” disaksikan oleh ribuan penonton dari berbagai kanal media sosial. Video klip musik religi yang dibawakan oleh Sampak GusUran sesekali tampil di sela-sela diskusi hangat ngaji budaya pada malam itu.(hsn)