Sulap Lumpur jadi Media Tanam, Warga Wonosobo Ini Mendulang Rupiah

Eko Mardiana, petani dari Kampun Mirombo, Desa Rojoimo, Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (19/1/2021). Foto Dok. 5NEWS.CO.ID

Wonosobo, 5NEWS.CO.ID,- Sedimentasi lumpur di waduk dan rawa biasanya menjadi masalah cukup pelik. Dari mengurangi debit air, sampai memperbesar potensi banjir. Sementara untuk rutin mengeruknya, perlu biaya yang tidak sedikit.

Namun di mata Eko Mardiana, petani dari Mirombo, Wonosobo, hal ini justru dijadikan sebagai peluang. Eko memandang, justru sedimentasi waduk, danau dan rawa bukan sebagai beban, tapi potensi yang besar.

“Sedimentasi di rawa atau waduk itu kan top soil (lapisan tanah atas) yang turun ke waduk/rawa,” kata Eko, Selasa 19 Januari.

“Itu kandungan endapan hewani, nabati dan sebagainya menyatu di situ puluhan tahun. Ini sudah jadi media tanam yang bagus sekali,” terangnya.

Oleh Eko, memanfaatkan lumpur dari Rawa Pening, ia pun membawanya ke Wonosobo dan mengolahnya untuk dijadikan media penyemaian bibit berkualitas. Eko mengolah lumpur rawa mennjadi media tanam sejak 2009 di perusahaan. Dan mulai merintis mengolah lumpur Rawa Pening sendiri pada 2014 sejak keluar dari perusahaan.

Dengan 8 tenaga kerja, kapasitas produksinya bisa mencapai media bibit bawang merah dan cabai seluas 12-15 hektare bisa per hari. Dalam satu minggu, jika permintaan tinggi, Eko bisa mengambil 1-2  truk lumpur dari Rawa Pening. Setelah diolah menjadi media, sebagian dipakai sendiri dan komunitas petani setempat, sebagian dikirim ke luar daerah.

“Kita biasa kirim ke Blora 1 truk per minggu,” ujar Eko.

Mesin pencetak media bibit sendiri tidak membeli dari luar, tapi diproduksi sendiri. Mesin pencetak media semai bibit ini banyak diminati banyak orang luar daerah, terutama luar Jawa. “Sekitar 100 lebih yang sudah pesan mesinnya. Kita kasih harga 1,5 juta 1 unit untuk ukuran 5 x 10,” kata Eko.

Eko menjelaskan alasan utama ia memilih memanfaatkan lumpur rawa untuk membuat media pembibitan selain alasan ekonomi adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mengurangi penggunaan plastik oleh petani.

Untuk satu hektare lahan bibit cabe misalnya, tutur Eko, butuh sekitar 18 ribu kantong plastik polybag yang hanya dipakai 30 harian, setelahnya dibuang.

“Itu salah satu penyumbang sampah plastik besar di petani,” ujar Eko.

Tak hanya mengurangi sampah plastik dengan menggunakan lumpur rawa sebagai media tanam, tapi juga menyumbang efisiensi tenaga kerja.

“Kalau dengan plastik, 1 hari maksimal 1000 polybag 1 orang. Kalau memakai alat soil blog, alat cetak semai yang kita buat, sehari bisa sampai minimal 20 ribu. Jadinya 1 banding 20!” terang Eko.

Salah satu kelebihan lain media persemaian Eko dengan menggunakan sedimentasi rawa adalah tidak menggunakan tanah seperti pada umumnya. Eko menggunakan limbah, pupuk kandang, lumpur, cocopit, kapur. Yang dipakai 100% pupuk, tidak ada tanahnya. 

“Kenapa kita harus angkut tanah kalau sudah ada tanah di sawah?” tanya Eko. “Kalau pakai tanah di media semai, akhirnya kan dia akan mencangkul tanah di daerah lain yang tak perlu dicangkul.”

Di Wonosobo sendiri, menurut Eko ada waduk, danau, bahkan kawah yang bisa dimanfaatkan untuk media tanam atau pupuk. Namun sayangnya, semua itu belum dimanfaatkan.(muh)