
Pati, 5NEWS.CO.ID,- Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menegaskan banjir bukanlah takdir. Namun, ulah manusia yang menjadikan bencana alam itu terus melanda Kabupaten Pati dan Kudus setiap tahun. JMPPK menyebut banjir yang rutin terjadi di dua wilayah ini disebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang tidak sesuai.
“Banjir ini bukan diakibatkan karena curah hujan tinggi, melainkan disebabkan terjadinya alih fungsi lahan dan peruntukan lahan yang tidak sesuai,” ungkap Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Gunretno dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Minggu (13/12/2020) siang.
Keterangan pers berjudul “Banjir Bukan Takdir”tersebut, diawali dengan tembang (lirik lagu jawa) Pangkur:
Angambali angilikna (Kembali mengingatkan)
Nggenya lali marang Ibu Pertiwi (Kepadamu yang telah melupakan Ibu Pertiwi)
Drajat pangkat yekti milut (Derajat dan pangkat nyata telah)
Temah lali janjinya (Bisa membuatmu lupa akan janji)
Angayomi pra tani lan labetipun (Untuk melindungi petani)
Ingkang atur cekap boga (Yang selama ini mencukupi kebutuhan pangan)
Kakhanti tulusing ati (Dengan hati yang tulus)
“Banjir besar melanda wilayah Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus secara rutin setiap tahunnya. Banjir ini menyebabkan kerugian serius karena merendam ribuan hektar lahan pertanian,” kata Gunretno.
Ia memaparkan, sejumlah desa mengalami kerugian akibat banjir menghantam lahan pertanian. Di Kabupaten Pati, jelasnya, wilayah Kecamatan Sukolilo ; Desa Baleadi, Desa Wotan, Desa Baturejo, Desa Gadudero, dan Desa Kasiyan. Kecamatan Kayen ; Desa Srikaton, Desa Trimulyo, Desa Pasuruhan dan Desa Talun. Untuk Kecamatan Gabus, banjir melanda Desa Banjarsari, Desa Babalan, Desa Tanjang, Desa Kosekan, Desa Pantirejo, Desa Tlogoayu, Desa Karaban dan Desa Wuwur. Sementara di Kecamatan Margorejo, Desa Ngawen, Desa Jimbaran, dan Desa Jambean juga kebanjiran.
Di kabupaten Kudus, banjir juga merendam lahan pertanian di 12 desa, yaitu Desa Gondoarum, Desa Sidomulyo, Desa Bulung Kulon, Desa Bulung Cangkring, Desa Sadang, Desa Jojo, Desa Kirik, Desa Jongso, Desa Payaman, Desa Karangrowo, desa Wates, dan Desa Undaan.
“Diperkirakan kerugian gagal panen musim tanam pertama mencapai 5.000 hektar dengan hasil produksi 40.000 ton gabah dan kerugian biaya produksi sebesar 45 miliyar,” ungkapnya.
JMPPK menganggap penanganan wilayah hulu dan hilir dalam pembangunan haruslah seimbang. Pegunungan Kendeng dan Gunung Muria sebagai wilayah hulu, kegiatan penambangan dan penggundulan hutan marak terjadi. Akbibatnya, ketika curah hujan tinggi, aliran sungai pembuangan cepat mengalami sedimentasi.
Saat melakukan susur sungai pada Sabtu (12/12), tim survei lapangan JMPPK menemukan sampah plastik, enceng gondok dan larutan tanah dari pegunungan menjadikan daya tampung sungai tidak mencukupi. Akibatnya, air meluap menggenangi lahan pertanian yang sudah ditanami padi.
“Perlu diketahui bahwa dokumen KLHS Pegungan Kendeng menyatakan terdapat kerusakan lingkungan yang sangat krusial yang apabila tidak segera ditanggulangi akan membawa risiko bencana ekologis besar yang tidak terelakkan,” pungkasnya.(hsn)