
Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan (DGTK) Anhar Gonggong menjelaskan alasan enam tokoh mendapatkan gelar pahlawan nasional dari negara.
Selain berjasa bagi negara, keenam tokoh yang dianugerahi gelar oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (10/11/23) ini memiliki bidang perjuangan yang spesifik.
“Karena dia berjasa, dan dia mengorbankan jiwanya untuk kepentingan kemerdekaan dan proses bangsa,” ujar Anhar di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat. “Masing-masing punya spesifik karena yang mereka hadapi kan situasinya juga berbeda-beda, jadi misalnya Bataha Santiago berhadapan dengan zaman Belanda, kalau Haji Abdul Chalim pejuang agama,” ujar dia.
Kemudian M Tabrani merupakan salah satu pencetus kongres pemuda yang pertama. Selain itu, dia mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Anhar mengatakan, enam tokoh yang diberi gelar pahlawan merupakan usulan dari daerah ke pusat.
“Dari gubernur ke departemen sosial, departemen sosial kirim ke presiden, prosesnya panjang, orang bisa diteliti sampai 4 tahun,” ucapnya.
Adapun pada Jumat, Presiden Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh dari berbagai daerah di Istana Negara.
Enam tokoh tersebut yakni almarhum Ida Dewa Agung Jambe dari Provinsi Bali, almarhum Bataha Santiago, dari Provinsi Sulawesi Utara, almarhum M. Tabrani, dari Provinsi Jawa Timur, almarhumah Ratu Kalinyamat, dari Provinsi Jawa Tengah, almarhum K.H. Abdul Chalim, dari Provinsi Jawa Barat dan almarhum K.H. Ahmad Hanafiah, dari Provinsi Lampung.
Sementara itu, cucu dari K.H. Abdul Chalim yang merupakan Kiai Asep Syaifuddin Chalim menyampaikan terima kasih kepada Presiden Jokowi yang memberikan gelar pahlawan untuk kakeknya.
Kiai Asep yang merupakan Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) mengatakan, perjuangan yang dilakukan kakeknya sangat panjang, mulai dari menjadi komandan pada peristiwa 10 November, tokoh moderasi beragama hingga pejuang pendidikan.
“Beliau dalam temuan-temuan yang dikaji secara ilmiah beliau adalah seorang komandan dalam peristiwa 10 November. Kemudian beliau adalah tokoh moderasi di mana pada tahun 1925 beliau menyampaikan kata pengantar pada buku yang ditulis HOS Tjokroaminoto,” kata Kiai Asep.
“Dalam kata pengantar itu Beliau mengatakan saya diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa memiliki sikap moderasi menghargai pada siapapun berkomunikasi dengan baik dengan siapapun,” ucap dia.