
Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Polri menindaklanjuti kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di daerah Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyebut kasus tersebut dugaan pencabulan, bukan tindak pidana perkosaan.
“Dalam surat pengaduan tersebut, saudari RS melaporkan diduga telah terjadi peristiwa perbuatan cabul. Jadi bukan perbuatan tindak pidana perkosaan, seperti yang viral di medsos dan juga menjadi perbincangan di publik. Ini yang perlu kita ketahui bersama,” kata Karo Penmas Rusdi saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/10/2021).
Brigjen Rusdi mengungkapkan, tim supervisi meminta kepada para korban untuk melakukan pemeriksaan di dokter spesialis kandungan. Hal itu untuk memastikan ada tidaknya tindak pidana perbuatan cabul seperti yang terdapat di dalam surat pengaduan dari ibu korban.
Dokter Imelda yang memeriksa korban, menyarankan untuk diperiksa lebih lanjut ke dokter spesialis kandungan. Ibu ketiga anak itu awalnya sepakat, namun belakangan yang bersangkutan membatalkan.
“Disepakati oleh ibu korban bahwa pemeriksaan tersebut akan dilakukan di RS Vale Sorowako. Sekali lagi, RS ini merupakan pilihan dari ibu korban. Pada tanggal 12 Oktober 2021, sekarang ini, kesepakatan tersebut dibatalkan oleh ibu korban dan juga pengacaranya dengan alasan anak takut trauma,” tutur Karo Penmas.
Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan, mengungkap sejumlah kendala yang dihadapi untuk menemukan bukti baru di kasus dugaan pencabulan seorang ayah terhadap tiga anaknya di Luwu Timur. Hingga saat ini, status penyelidikan kasus tersebut belum dibuka kembali.
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, mendorong kepolisian untuk memfasilitasi pemeriksaan forensik yang netral dan profesional dalam mengatasi kasus dugaan pencabulan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
”Kami menemukan kesan ibu korban ragu terhadap hasil pemeriksaan visum et repertum dan visum et repertum psychiatricum yang telah dilakukan kepada korban sebanyak tiga kali, mulai dari pemeriksaan di Puskesmas Malili, hingga RS Bhayangkara Polda Makassar, Sulawesi Selatan,” kata Edwin melalui keterangan tertulis kepada ANTARA, Rabu (13/10/2021)
Keraguan tersebut, menurut dia, salah satu pangkal persoalan dalam kasus dugaan pencabulan yang dialami oleh tiga anak di Luwu Timur. Persoalan tersebut berakhir dengan terbitnya Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan (SKP2) pada 10 Desember 2019.
Oleh karena itu, sebagai langkah penyelesaian, dia mendorong kepolisian, dalam hal ini Bareskrim, untuk memfasilitasi pemeriksaan forensik yang dinilai netral. Ia berpandangan bahwa kepolisian dapat menawarkan pihak korban untuk memilih ahli forensik yang mereka nilai netral dan profesional. pemeriksaan yang dilakukan berupa visum et repertum, visum et repertum psychiatricum, dan psikologi forensik.
“Yang perlu menjadi perhatian semua pihak, termasuk pihak korban, adalah semua pihak harus menganggap hasil pemeriksaan independen itu sebagai hasil yang final dan diterima semua pihak secara fair,” ucap dia.
Pemeriksaan semacam ini, kata dia, pernah ia lakoni saat bertugas mengusut penyebab kematian Pendeta Yeremia di Intan Jaya, Papua, beberapa waktu lalu. Pihak keluarga menolak pemeriksaan jika dilakukan polisi dan lebih memilih ahli forensik lain yang dianggap netral.
“Pada saat itu polisi mengabulkan permintaan keluarga,” kata dia. Ia menyatakan bahwa LPSK telah mengikuti kasus ini sejak 2019 lalu. Secara runut, ia menyampaikan bahwa LPSK telah menerima permohonan perlindungan dari korban pada 27 Januari 2020.
LPSK memberikan respon dengan menurunkan tim investigasi ke Sulawesi Selatan tepat dua hari setelah LPSK menerima permohonan dari korban, yakni 29 januari 2020.
”Kami langsung menemui korban, ibu korban, berkoordinasi dengan penyidik di Polres Luwu Timur, dan menemui kuasa hukum korban di Kantor LBH Makassar, dan berkomunikasi dengan psikolog yang sempat lakukan asesmen psikologis kepada ketiga anak tersebut,” ujar dia.
Selanjutnya, LPSK secara mandiri melakukan pemeriksaan psikologi kepada korban dan ibu korban pada 19 Februari 2020 di Makassar. Alasan pemeriksaan di Makassar atas permintaan ibu kakak-beradik yang kurang percaya dengan pemeriksaan psikologi di Luwu Timur.
Merujuk hasil pemeriksaan tersebut, LPSK mengabulkan permohonan perlindungan pada 13 April 2020 berupa Pemenuhan Hak Prosedural (PHP) dan pemberian bantuan psikologis. Ia mengatakan bahwa, ketika itu, LPSK tetap bersikukuh memberikan perlindungan kepada korban meskipun penyelidikannya telah dihentikan.
”Melalui program PHP, LPSK terus memonitor perkembangan kasus dengan terus berkoordinasi dengan Polres Luwu Timur, melakukan audiensi dengan Kapolda Sulawesi Selatan, serta telah bertemu dengan wakil gubernur,” kata dia.
Saat ini, lanjut dia, LPSK telah mendapatkan permohonan perlindungan kembali dari ibu dan tiga anak itu. Dasar permohonan ini akan ditindaklanjuti LPSK dengan berkoordinasi bersama Bareskrim Kepolisian Indonesia.(DBS/hsn)