Penyataan Presiden Macron Dinilai Pakar Lindungi Kaum Muslim dari Radikalisme

Presiden Emmanuel Macron Prancis

Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Beberapa hari terakhir ini Presiden Prancis Emmanuel Macron menjadi perbincangan di seluruh dunia, terkait pernyataannya yang dianggap telah menghina umat Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Macron menyatakan karikatur Nabi Muhammad merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Selain itu ia juga menyebut Islam adalah agama teroris. Akibatnya para pemimpin negara Islam mengecam keras pernyataan tersebut, bahkan barang-barang produk Prancis pun di boikot.

Doktor Bidang Hukum, Manajemen dan Hubungan Internasional Mahmud Syaltout berpendapat bahwa pernyataan Macron pada 2 Oktober lalu dianggap sebagai langkah untuk membela dan melindungi kaum muslim dari pihak-pihak yang bersikap dan berperilaku radikal dengan mengatasnamakan Islam.

Ia menjelaskan di Prancis memiliki banyak imam (ulama) yang mengkampanyekan semacam pembakangan terhadap aturan negara. Mereka berupaya membangun komunitas eksklusif dengan merujuk nilai-nilai agama secara sempit.

“Wacana untuk membuat UU yang memerangi radikalisme itu sendiri datang dari usulan sejumlah pengurus masjid dan imam saat bertemu Macron pada 25 September,” kata Mahmud, Minggu (1/11/2020).

Dia juga menyebut media yang pertama kali memuat karikatur Nabi Muhammad adalah Charlie Hebdo. Saat di terbitkan tidak ada reaksi dari publik, tiga pekan kemudian ada pihak yang berusaha untuk memanasinya.

“Karena itu ketika media ini pertama kali memuat kembali karikatur Nabi, sebetulnya tak ada reaksi dari publik. Reaksi baru muncul sekitar tiga pekan kemudian karena ada yang mengorengnya,” jelasnya.

Mahfud mengatakan para islam moderat dan pengurus masjid raya di Prancis mengganggap sejumlah aksi teror yang terjadi akibat dari tidak tegasnya aparat penegak hukum. Sehingga hal ini yang menyebabkan para ulama mendesak Presiden  dan Menteri Dalam Negeri Prancis untuk lebih sigap dan tegas dalam melawan kaum radikal.

Diketahui Mahmud Syaltout tinggal di Prancis selama 6 tahun. Ia belajar di Universitas Sorbonne, Prancis dan mendapatkan gelar Doktor bidang Hukum, Manajemen dan Hubungan Internasional. (sari)