
Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Pemerintah mengumumkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditanda tangani oleh 6 pejabat setingkat menteri. SKB tersebut berisikan larangan terhadap seluruh aktivitas dan kegiatan serta penggunaan atribut FPI. Menyikapi hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai tindakan pemerintah tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Pada tanggal 30 Desember 2020, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Menteri Komunikasi Dan Informatika (Menkominfo), Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara resmi menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang. Pemerintah menyebut pertimbangan utama pelarangan FPI adalah untuk menjaga kemaslahatan ideologi Pancasila.
“Bahwa untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinekka Tunggal Ika,” Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Edward Omar Sharief Hiariej saat membacakan tujuh poin SKB di Kantor Kemenko Polhukam, Rabu (30/12/2020) lalu.
Edward menyatakan, ada tujuh poin yang dimuat dalam SKP Larangan FPI. Pertama, pemerintah menyatakan Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga secara de jure telah bubar sebagai organisasi kemasyarakatan. Kedua, meskipun FPI telah bubar sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas), namun pada kenyataannya masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum, dan bertentangan dengan hukum.
Ketiga, melarang penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum NKRI. Keempat, apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diuraikan dalam diktum ketiga di atas, aparat penegak hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam.
Kelima, pemerintah meminta kepada masyarakat untuk tidak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan simbol dan atribut FPI serta melaporkan setiap kegiatan yang menggunakan simbol dan atribut ormas tersebut kepada aparat penegak hukum. Keenam, Kementerian dan Lembaga yang menandatangi Surat Keputusan Bersama ini agar melakukan koordinasi dan mengambil langkah-langkah penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketujuh, Keputusan bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yakni pada tanggal 30 Desember 2020 di Jakarta.
Meskipun banyak pihak mengecam sepak terjang FPI, sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menilai tindakan pemerintah melarang FPI adalah tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.
“Negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian. Namun di sisi lain, negara harus menegakkan prinsip kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan rule of law,” bunyi pers rilis Koalisi Masyarakat Sipil di laman AJI Indonesia, Kamis (31/12/2020).
Koalisi Masyarakat Sipil menyebut selama ini turut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Namun demikian, mereka menilai pemerintah seharusnya menindak tegas narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI tanpa mengabaikan prinsip negara hukum.
“Kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum,” ucapnya.
Koalisi Masyarakat Sipil merupakan gabungan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS), LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesa (PBHI), Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.(hsn)