Penulis: Muhammad Muhyidin
Belasan tahun silam, sengaja kudatangi seorang sahabat di Pasar Kebayoran Lama. Subuh itu saya temukan dia tengah menjalankan sholat subuh di mushola yang terletak di salah satu sudut pasar. Sejujurnya batin ini berkata, “O, ternyata dia masih sholat juga…” Puji syukur pada Allah Ta’ala.
Sebab sahabat saya ini berbeda dengan sahabat saya yang lain. Setelah merantau belasan tahun, perkara sholat wajib ini sangat jarang dilakukan. Padahal, waktu kecil, masjid seumpama sudah seperti rumah kedua—selain untuk sembahyang fardlu dan terkadang sunnah, juga sering digunakan untuk tidur bersama-sama.
Derasnya aliran waktu seperti telah menyeret sahabat saya yang itu untuk meninggalkan sholatnya. Maka saya bersyukur bahwa masih ada sahabat yang lain ternyata tetap menjaga sholat fardlunya.
Menjaga sholat fardlu, berusaha menjalankannya tepat waktu, ditimpali dengan sholat sunnah—walau kadang-kadang—tidakkah cukup untuk menjadi seorang hamba Tuhan yang baik? Plus, tentu saja, menjalankan puasa ramadlon, sekali dua membaca ayat-ayat suci, berhaji bagi yang mampu, mengeluarkan zakat, dan semua ini dilakukan dengan selalu mengharap ridlo Allah, tidakkah cukup?
Baiklah. Mungkin ditambah dengan menjaga lisan dari perkataan yang buruk dan munkar, plus perilakunya, tak menggunjing sesama, mencintai bangsa dan negara, ditambah mendukung Jokowi—apakah harus dianggap sebagai hamba Tuhan yang buruk? Sesat? Pendukung liberal? Anti Islam?
Celaka tiga belas!! Kalau memang hendak menegakkan agama, mengibarkan panji-panji tauhid di atas mayapada, mestinya dimulai dari diri sendiri dalam menimbang apakah hari ini sholatnya lebih baik dari kemarin, lebih khusyuk, lebih ikhlas, atau justru bolong-bolong tak keruan. Apakah sholat yang dilakukan telah mencegah perbuatan keji dan munkar, atau justru tak ada bedanya.
Itu hanya tentang sholat. Sholat fardlu. Belum soal lain-lainnya. Soal-soal mana yang memerlukan proses pemahaman dan pendalaman dalam mengerti dan meyakini ajaran-ajaran agamanya, yang tak bisa ditempuh hanya dengan cara sekali dua mendengar ceramah ustadz, menonton videonya, mencomot ayat-ayat dan hadis-hadis, lalu memukul orang lain dengan pukulan sesat, kafir, liberal, lengkap dengan nasihat-nasihat suci agar orang lain segera bertobat dan mendapat hidayah dari Allah SWT!!
Panji-panji Tauhid tidak akan pernah tegak kecuali hanya berkibar di atas tiang, dan tiang itu menancap di bumi dan itu berarti bahwa panji tauhid haya sama degan pengibaran bendera tak ubahnya anak pramuka mengibarkan bendera tunas kelapa!
Anehnya, berteriak-teriak kencang seakan-akan tengah menegakkan kejayaan Islam di atas bumi Nusantara! Sudah begitu, ditambah pula denga teriak maki-makian kepada pihak lain yang dianggap musuh. Jokowi diteriaki. Pendukung Jokowi dilabeli PKI. Yang tampak, pada akhirnya, haayalah panji yang berkibar-kibar doang, dikibarkan oleh manusia-manusia yang pekak dan tuli.