Ngaji NgAllah Suluk Maleman: Pancasilais Artinya Beragama

Suluk Maleman Edisi 113
Suluk Maleman edisi ke-113 bertajuk “ Dan Akhirnya, Lupa Jugalah Yang Berkuasa”, Sabtu (22/5/2021) malam di Rumah Adab, Jalan Diponegoro 94, Pati. Foto dok. 5NEWS.CO.ID

Pati, 5NEWS.CO.ID,- Setiap orang yang beragama dengan baik adalah seorang Pancasilais. Hal itu menjadi diskusi hangat acara Suluk Maleman edisi ke-113 bertajuk “Dan Akhirnya, Lupa Jugalah Yang Berkuasa”, Sabtu (22/5/2021) malam di Rumah Adab, Jalan Diponegoro 94, Pati.

Budayawan selakilgus juga dosen, Dr Ilyas, menyebut bahwa setiap orang yang beragama dengan baik dapat dipastikan seorang Pancasilais. Menurutnya, ilmu agama adalah salah satu jalan membangun mentalitas anti korupsi ataupun penguatan karakter lain. Namun, nilai beragama itu sekarang ini justru belum banyak digali.

“Semua yang ada di Pancasila itu sudah diajarkan di agama. Jadi ilmu beragama inilah yang perlu dikuatkan,” kata Dr Ilyas saat berbicara di acara Suluk Maleman secara virtual, Sabtu (22/5).

“Munculnya gerakan ngaji budaya seperi Suluk Maleman maupun Gambang Syafaat menjadi bukti. Banyak masyarakat yang menemukan sesuatu, yang menenangkan hatinya dan menjawab kegelisahan yang tak bisa dijawab di kampus-kampus,” ungkapnya.

Ironisnya, seringkali pendidikan formal justru mengarah pada kapitalisasi pendidikan. Banyak jurusan yang mengarah pada sisi pencarian pekerjaan saja bukan menambah pengetahuan tentang lingkungan dan diri. Sistem pendidikan justru diseragamkan.

“Ijazah seolah menjadi kunci masuk ke dunia pekerjaan. Maka dari itu banyak yang kuliah hanya untuk mencari ijazah bukan mencari ilmu,” ujar Dr Ilyas.

Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman menyebut perilaku seperti itu menjadi salah contoh betapa manusia begitu mudah lupa pada kesejatian. Menurut dia, dunia cenderung membuat manusia menjadi lupa hingga membuat tatanan dunia menjadi carut marut.

“Manusia banyak yang dibuat lupa pada persoalan yang utama lantaran disibukkan dengan persoalan yang tidak penting,” terangnya.

Sikap mudah lupa itu dikatakannya seringkali dilakukan manusia dibanyak aspek. Tak terkecuali perjanjian dengan Allah saat di alam ruh seperti yang tertuang dalam surat Al-A’raf ayat 172.

“Persoalan materi dan dunia seringkali menjadi hal yang membuat manusia lupa,” ujarnya.

Anis menyebut bahwa karena manusia cenderung lupa, maka dzikir atau mengingat adalah solusinya. Oleh karenanya, zikir perlu diulang-ulang sehingga manusia tak lupa jika berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.

“Memang ada banyak hal yang membuat lupa atau sengaja dilakukan agar manusia lupa. Terutama apa yang ada di media sosial. Kita diberi gambaran-gambaran palsu agar lupa pada persoalan yang sejati,” imbuhnya.

Sebagai salah satu contoh, Anis menyebut kasus Palestina. Akhir-akhir ini banyak beredar narasi di media sosial yang membuat kita lupa bahwa persoalan pokoknya adalah kemanusiaan; dan fakta adanya penjajahan. Kita juga tampaknya sedang digiring untuk lupa pada fakta bahwa Palestina adalah pihak yang membantu kemerdekaan bangsa Indonesia. Beragama, terang Anis, begitu penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lantaran mampu menjawab sejumlah kendala berbangsa saat ini.

Sementara itu, pembicara lain, M. Khoiruddin menyebut bahwa masalah pendidikan kita bukan hanya salah prioritas, tapi juga salah pendekatan. Penyeragaman sistem sekolah membuat anak tidak berkembang sesuai bakatnya, tapi dikembangkan sesuai kehendak kurikulum.

“Akibatnya tak ada anak petani yang bercita-cita jadi petani, atau anak pelaut bercita-cita jadi pelaut misalnya,” ujar Khoiruddin.

Meski digelar secara daring, diskusi berjalan cukup hangat disaksikan oleh ribuan netizen yang aktif mengikuti jalannya ngaji virtual melalui beberapa kanal media sosial.(hsn)