Ngaji NgAllah Suluk Maleman: Pancaroba dan Kerusakan Alam Akibat Ulah Manusia

Anis Sholeh Ba’asyin di Ngaji NgAllah Suluk Malemen, Sabtu (20/3/2022) malam. Foto Istimewa

Pati, 5NEWS.CO.ID,- Persoalan cuaca ekstrem yang terjadi beberapa waktu terakhir menjadi perbincangan dalam Suluk Maleman edisi ke 123 Sabtu (20/3/2022) malam. Dalam forum ber-tagline ‘Ngaji ngAllah’ itu, disinggung bahwa orang Jawa memiliki ilmu membaca cuaca yang dikenal dengan pranoto mongso.

Imu tersebut digunakan dalam berbagai hal, khususnya di bidang pertanian. Dalam mengolah sawah, petani Jawa menjadikan perilaku tanaman dan hewan sebagai tanda. Munculnya burung Belibis misalnya, menandai datangnya ‘mongso kaenem’ (musim keenam) yang merupakan musim tanam sehingga petani mulai menebar bibit padi.

Muhammad Ghofur, salah satu peneliti iklim mengatakan, ilmu titen itu sebenarnya telah tercatat secara formal di abad 16 dan 17 lalu meskipun secara informal diperkirakan sudah dilakukan jauh lebih lama. Menurut Ghofur, ilmu titen semacam itu sebenarnya pun banyak dikembangkan di berbagai daerah lainnya.

“Seorang antropolog Amerika pernah melakukan riset di Sumba. Dia menyimpulkan bahwa masyarakat Sumba seolah bisa bermain-main dengan waktu. Mereka bisa memprediksi kapan akan terjadi krisis pangan sehingga siap saat menghadapinya,” kata Ghofur saat berbicara di Suluk Maleman, Sabtu (20/3).

Dia menjelaskan, ilmu pertanian Jawa sebenarnya tak hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Namun, ada juga masa transisi (pancaroba) yang dikenal sebagai “semplah” dan “pengarep-arep”. Semplah merupakan masa peralihan dari musim kemarau ke penghujan sementara pengarep-arep adalah sebaliknya.

“Pemahaman tentang hal ini menjadi dasar petani memperlakukan tanaman padinya. Sebenarnya praktik ini masih banyak digunakan wilayah yang jauh dari akses informasi,” tambahnya.

Menurut Ghofur, anomali cuaca juga terjadi karena ulah manusia sendiri.

Sementara itu, akademisi Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Saratri Wilonoyudho, mengutip pernyataan Alvin Toffler yang menyebut adanya tiga gelombang perubahan iklim. Gelombang pertama dimulai sejak ditinggalkannya kegiatan berburu menuju pertanian yang terorganisir.

“Gelombang kedua terjadi saat revolusi industri. Dimana kerja otot dipermudah namun memiliki efek samping kapitalisasi serta dampak terhadap alam seperti munculnya polusi. Hal itulah yang kemudian menyebabkan terjadinya anomali cuaca,” beber Prof. Saratri.

Sementara gelombang ketiga adalah saat munculnya teknologi informasi. Gelombang ini semakin memperjelas tingkat keserakahan manusia. Dimana menghujat, fitnah penipuan, dan pornografi semakin merajalela. Kerusakan tak hanya terjadi secara fisik namun juga sosial.

“Tapi sekarang karena perubahan industri teknologi terjadi anomali. Ketidaknormalan itu terjadi karena kerakusan manusia,” tegasnya.

Dr. Abdul Jalil menambahkan, sebenarnya banyak pelajaran dari hadits maupun cerita ulama untuk tidak berlaku berlebih-lebihan terutama dalam mengejar dunia. Seperti cerita Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah namun pakaiannya hanya baju dengan tambalan.

“Ini sebenarnya bisa menjadi peringatan agar kita jangan sampai terjebak dalam peradaban yang mengandalkan materi,” tambahnya.

Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman sendiri mengingatkan jika konsep manusia sebagai khalifah pada dasarnya berfungsi untuk mengelola bumi dengan baik, bukan menempatkan manusia sebagai pusat sehingga bersikap antroposentris.

Hasilnya pun tidak sebatas kepentingannya sendiri, namun agar objek yang dikelola pun dapat bertumbuh-kembang dengan baik.

“Bahkan Kiai saya dulu saat menanam pohon niatnya bukan hanya beliau untuk memetik keuntungan bagi diri sendiri; tapi untuk disedekahkan bagi semua yang membutuhkan, termasuk untuk burung, ulat dan hewan lainnya,” terangnya.

Anis menyentil, salah satu dampak revolusi industri adalah kerusakan alam yang menjadi-jadi. Abad yang dianggap modern ini justru membuat kemanusiaan serta kesadaran manusia menurun drastis.

“Manusia modern ibarat kanak-kanak yang diberi senjata canggih sebagai alat permainannya. Kita bermain-main dengan hasil sains yang luar biasa berkembang, disaat bersamaan kita belum matang sehingga rentan menyebabkan kerusakan,” imbuhnya.

Topik yang menarik itupun membuat Suluk Maleman seri dari rumah saja terlihat tetap dinikmati ribuan masyarakat dari berbagai kanal media sosial. Terlebih, koleksi dari Sampak GusUran turut memeriahkan jalannya diskusi.(hsn)