
Amerika Serikat, sekutu abadi Israel sejak negara ilegal itu didirikan pada tahun 1948. Pemerintah AS secara terang-terangan berulang kali melindas hak-hak bangsa Palestina. Ironisnya, hal itu dilakukan sambil membiarkan Israel untuk melakukan apa saja, bahkan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional.
AS mendukung Israel secara finansial, militer dan diplomatik. Pemerintah Amerika Serikat memberi Israel dana sebesar 3,8 miliar dolar setahun atau sekitar 53 Triliyun rupiah yang sebagian besarnya berbentuk bantuan militer. AS juga telah memveto puluhan resolusi di Dewan Keamanan PBB yang mengutuk pendudukan Israel, opsi penyelesaian dan banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Tak ayal, dukungan tanpa syarat Washington ini membuat, rezim Israel leluasa menindas Palestina dengan melakukan pembunuhan (yang tak pernah dihukum), pemindahan paksa, penahanan warga Palestina secara kejam serta terus melakukan perluasan pemukiman ilegal.
Seluruh presiden AS dari masa ke masa, dengan bangga mendeklarasikan hubungan khusus antara Washington dan Tel Aviv. Donald Trump, Presiden AS saat ini, membawa hubungan ini ke level istimewa dan sama sekali baru melalui ‘Kesepakatan Abad Ini’ yang secara resmi dia proklamirkan sendiri pada bulan Januari di Gedung Putih.
Pemerintah negeri Paman Sam itu seolah tuli meskipun para pemimpin Palestina berteriak menyuarakan sikap penentangan mereka terhadap apa yang disebut Trump sebagai rencana ‘perdamaian’ sepihak itu. Akhirnya, para pemimpin Palestina menekankan perlunya perlawanan rakyat terhadap skema konyol tersebut.
Skema AS ini memenuhi seluruh tuntutan Israel sambil memberi janji manis ke negara Palestina. Rencana konyol Trump itu menawarkan kontrol terbatas atas keamanan dari perbatasan negara Palestina sendiri.
Secara sepihak dan tak proporsional, ide gila Trump juga menunjuk Yerusalem sebagai ibukota Israel yang tidak terbagi. Konsekuensinya, rezim ilegal Israel dengan bebas mencaplok permukiman di Tepi Barat dan Lembah Jordan. Para pemimpin Palestina menilai rencana Trump itu hanya akan memperkuat kebijakan lama Israel tentang pendudukan permanen, kolonialisme, dan apartheid.
Di sini Trump telah melanggar hukum internasional yang menetapkan Al Quds atau Yerusalem sebagai ibu kota negara Palestina. Namun kini, seluruh kota berada di bawah kendali Israel.
Yerusalem al-Quds Sejak Lama Menjadi Target Veto AS di PBB
Pada bulan Desember 2018, AS telah memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menolak keputusan Presiden Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kebulatan suara dari anggota Dewan Keamanan lainnya dalam mengutuk langkah itu merupakan teguran keras terhadap rencana Israel dan Trump.
Dukungan atas Kejahatan Perang Israel
Israel telah melakukan banyak kejahatan perang dan pelanggaran lainnya di Palestina. Kawasan Gaza, yang telah dikepung rezim ilegal itu sejak 2007 sudah mengalami tiga kali perang sejak akhir 2008. Sekitar 2.200 warga Palestina, termasuk 577 anak-anak, tewas dalam serangan Israel selama 50 hari pada tahun 2014 dalam keadaan diblokade.
Anehnya, Senat AS dengan suara bulat memilih untuk mendukung Israel dengan mengatakan pembantaian dalam perang tak berimbang itu sebagai hak untuk membela diri. AS juga dituduh membantu dan bersekongkol dalam kejahatan perang dengan menyediakan sarana militer bagi Israel.
Israel diyakini telah melobi pemerintah AS untuk menentang penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap kejahatan perangnya. Termasuk penggunaan amunisi langsung terhadap pengunjuk rasa, pembongkaran rumah dan infrastruktur sipil, dan pemindahan paksa warga Palestina sebagai bagian dari kegiatan pemukiman ilegal.
Mungkin itu sebabnya pada hari Jumat (15/5/2020) lalu AS mengancam ICC jika terus melakukan penyelidikan kejahatan perang Israel. Sekretaris Negara AS menyatakan Washington akan “memberikan konsekuensi yang tepat” jika Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) meneruskan penyelidikan kejahatan perang Israel. Dalam perjalanannya ke wilayah pendudukan minggu ini,
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bahkan mengecam ICC, ia mengatakan pengadilan internasional tidak memiliki kewenangan atas Israel. Bukan hanya itu, Pompeo bahkan menilai investigasi ICC itu ilegal.
Palestina diterima sebagai anggota ICC pada tahun 2015, tiga tahun setelah menandatangani Statuta Roma pendiri pengadilan, berdasarkan status “negara pengamat” di PBB.
Perluasan Pemukiman Ilegal Israel
Sekitar 600.000 warga Israel tinggal di sekitar 230 permukiman ilegal yang dibangun sejak pendudukan Israel tahun 1967. Tanpa memperdulikan sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB, rezim itu terus membangun dan mengembangkan pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur wilayah Palestina.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan langkah itu akan menutup pintu bagi kemungkinan perundingan perdamaian Palestina-Israel. Sementara Liga Arab menyebutnya sebagai kejahatan perang baru. Namun, Departemen Luar Negeri AS menegaskan bahwa Washington siap mengakui kedaulatan rezim ilegal Israel atas wilayah yang didudukinya.
Hari Quds International Day, Kesempatan Dunia untuk Bersatu Melawan Israel
Negara-negara Muslim dan pendukung perjuangan Palestina bersiap untuk memperingati Hari Quds Internasional pada hari Jumat mendatang untuk mengutuk pendudukan Israel dan menyerukan pembebasan Palestina. Diadakan pada hari Jumat terakhir bulan suci Ramadhan, Hari Quds adalah tampilan solidaritas tahunan dengan rakyat Palestina.
Jutaan Muslim dan non-Muslim bersimpati kepada Palestina dengan melakukan aksi unjuk rasa di seluruh dunia dan bersatu melawan agresi Israel. Karena pandemi virus corona, para aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia merencanakan untuk mengganti aksi turun ke jalan dengan aksi secara online.
Artikel ini diterbitkan dalam rubrik Pilihan Editor PRESS TV pada hari Minggu (17/5/2020).