
Gresik, 5NEWS.CO.ID,- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut ‘politisi ikan lele’ memperburuk dampak pandemi. Menurut Mu’ti, politikus tipe ini senang memperkeruh situasi yang sudah sulit akibat pandemi Covid-19.
Mu’ti mengatakan istilah ‘Politisi Ikan Lele’ adalah ungkapan yang dipinjamnya dari Buya Syafi’i Ma’arif menunjuk kepada mereka yang senang tampil memperkeruh suasana dan mengadu domba.
“Politisi ikan lele itu adalah politisi yang semakin keruh airnya maka dia itu semakin menikmati kehidupannya sehingga karena itu sekarang ini banyak sekali orang yang berusaha memancing di air keruh dan banyak orang yang tidak sekadar memancing di air keruh tapi juga memperkeruh suasana,”ungkap Mu’ti mengutip laman resmi Muhammadiyah, Jumat (6/8/2021).
“Saya menyebut politisi ini tidak selalu mereka yang menjadi pengurus partai politik, tetapi orang yang pikirannya selalu mengaitkan berbagai keadaan itu dengan politik, berbagai persoalan dipolitisasi,” jelas Mu’ti saat berbicara dalam forum daring UM Gresik, Senin (2/8).
Umumnya, politisi ikan lele adalah mereka yang bersikap partisan dan menggunakan popularitasnya sebagai pendengung. Di setiap kelompok partisan, Mu’ti menengarai selalu ada beberapa orang yang mengambil peran sebagai politisi ikan lele.
“Misalnya banyak yang mengaitkan dengan teori-teori konspirasi yang mengatakan bahwa Covid ini adalah buatan China, dan ini adalah cara China melumpuhkan Indonesia dan sebagainya. Saya kira pandangan-pandangan spekulatif itu tidak dapat kita benarkan tapi itu juga berseliweran di masyarakat sehingga dalam keadaan yang serba sulit seperti sekarang ini ada kelompok-kelompok tertentu yang saya pinjam istilahnya Buya Syafii Ma’arif itu seperti politisi ikan lele,” terangnya.
Muhammadiyah sendiri menurut Mu’ti tidak ingin masyarakat Indonesia terseret arus oleh tindakan tidak bertanggungjawab para politisi ikan lele tersebut.
“Nah Muhammadiyah tidak ingin keadaan negeri kita ini semakin terpuruk dan Muhammadiyah juga tidak ingin pandemi Covid-19 ini menjadikan kita sebagai bangsa yang sakit, baik sakit secara jasmani maupun sakit secara sosial,” kata Mu’ti.
“Bangsa yang sakit secara sosial itu adalah bangsa yang masyarakatnya tidak percaya satu dengan yang lainnya. Di mana masyarakatnya saling mencurigai satu dengan yang lainnya dan itu kita juga melihat tanda-tandanya sebagian ada yang berusaha memancing-mancing dan kemudian menumbuhkan rasa saling tidak percaya,” pesannya.(hsn)