Menjawab Kontroversi WHO, OTG Menularkan COVID-19 atau Tidak?

Menjawab Kontroversi WHO, OTG Menularkan COVID-19 atau Tidak?

Pati, 5NEWS.CO.ID,- Pernyataan seorang pejabat badan kesehatan dunia WHO menjadi kontroversial beberapa hari terakhir. Di hadapan wartawan, Kepala Unit Penyakit dan Zoonosis WHO Maria Van Kerkhove menyatakan bahwa ‘sangat jarang’ Orang Tanpa Gejala (OTG) menyebarkan virus corona. Pernyataan pejabat WHO ini memicu gelombang polemik global karena penerapan PSBB (lockdown)  juga dilandasi asumsi bahwa OTG juga bisa menyebarkan virus.

Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS Uiversitas Sebelas Maret (UNS) dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK. PhD., menilai kontroversi tersebut berakar dari penggunaan istilah saja. Klarifikasi WHO yang memperjelas istilah ‘sangat jarang terjadi’, menurutnya, didasari oleh minimnya laporan yang diterima oleh badan kesehatan dunia itu.

“Ada tiga kemungkinan kondisi. Pertama terinfeksi dan benar-benar tidak timbul gejala atau murni asimptomatik. Kedua, terinfeksi dan timbul gejala tapi sangat ringan sehingga kadang tidak terasakan. Ketiga, terinfeksi dan pada fase tidak ada gejala tapi kemudian timbul gejala pre-simptomatik,” tutur dr. Tonang melalui keterangan tertulis, Rabu (10/6/2020) siang.

Berdasarkan laporan, jelasnya, masa penularan virus SARS-CoV-2 dimulai sejak 2-3 hari sebelum mulai timbul gejala hingga 7-10 hari setelah munculnya gejala. Gejala virus corona rata-rata mulai timbul pada hari ke 5-6 setelah infeksi karena pada fase ini virus mencapai jumlah tertingginya.

“Setelah itu menurun jumlahnya. Saat-saat menjelang dan puncak jumlah virus itu diduga masa-masa paling menular. Jadilah masa pre-simptomatik justru berisiko penularan. Prosesnya melalui droplet dan aerosol maupun cairan tubuh atau bodily fluids,” ungkap dr. Tonang.

“Saya termasuk yang berpendapat, yang ada adalah kelompok gejala sangat ringan. Bukan benar-benar tanpa gejala. Begitu ringannya, sehingga seolah tidak terasakan,” lanjutnya.

Menurut dia, yang sulit adalah mengidentifikasi OTG yang benar-benar tanpa gejala dan OTG yang gejalanya sangat ringan. WHO sendiri dalam klarifikasinya menjelaskan “banyak yang semula dianggap tanpa gejala, ternyata kemudian menunjukkan gejala”. Juga pernyataan WHO yang mengatakan “banyak yang belum diketahui” tentang frekuensi penularan dari penderita tanpa gejala (OTG) tersebut. 

“Panduan WHO 27 Mei 2020, menyatakan bahwa masa isolasi bagi yang dianggap asimptomatik adalah 10 hari sejak dinyatakan positif. Langkah ini untuk memastikan tidak lagi berpotensi penularan,” lanjut dr. Tonang.

Pernyataan pejabat WHO yang mengatakan potensi penularan OTG “sangat jarang terjadi” ini diduga bermaksud menunjuk pada kelompok yang benar-benar tanpa gejala (murni asimptomatik). Sekaligus menunjukkan bahwa ada yang gejalanya sangat ringan, atau baru di fase pre-simptomatik, yang berpotensi menular.(hsn)

1 KOMENTAR