
Semarang, 5NEWS.CO.ID,- Puluhan massa aktivis dan buruh kembali turun ke jalan dan menyuarakan penolakan atas RUU Omnibus Law. Mereka menilai rancangan undang-undang itu merugikan masyarakat.
Massa pedemo berkumpul di sekitar Bundaran Air Mancur, jalan Pahlawan Semarang. Sejumlah spanduk bertuliskan pesan “Tolak Omnibus Law” juga dibentangkan sepanjang aksi berlangsung.
“DPR memaksakan kehendak melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law atas usulan pemerintah. Isi RUU tersebut tidak sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Khususnya pada sektor ketenagakerjaan,” kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas dan Umum (FSP KEP), Jawa Tengah, Ahmad Zainudin.
Seperti dilansir serat dot id, Ahmad menyebut sejumlah poin yang dinilainya merugikan masyarakat, seperti aturan yang menghapus upah minimum dalam RUU Omnibus Law. Dia menganggap pengurangan angka pesangon, sistem kerja kontrak di semua lapangan pekerjaan adalah poin-poin yang merugikan orang banyak, terutama pihak pekerja.
Tak hanya itu, jam kerja, masalah cuti dan mudahnya pekerja asing di Indonesia juga merupakan isi RUU yang dinilainya merugikan. Menurutnya, Omnibus Law yang kini sedang dibahas di DPR mengurangi jaminan sosial bagi pekerja.
Selain itu, jika RUU itu disahkan, pemilik modal dapat dengan mudah memutus hubungan kerja secara sewenang-wenang tanpa melalui proses pengadilan. Ahmad juga mempertanyakan hilangnya sejumlah sanksi pidana bagi pengusaha dalam RUU tersebut.
“Apabila tuntutan para buruh tidak dipenuhi, kami akan menggunakan kekuatan masa dengan melakukan aksi bersama,” kata dia.
Di kesempatan yang sama, Korlap Aksi Aulia Hakim mengungkapkan bahwa berbagai upaya termasuk aksi penolakan dan masukan langsung kepada Presiden Joko Widodo telah dilakukan. Namun, janji Jokowi untuk menunda pembahasan RUU Omnibus Law tidak ditepati.
“Presiden menjanjikan pembahasan Omnibus Law ditunda karena adanya Covid-19. Nyatanya DPR tetap membahasnya hingga kini. Dan, Presiden pun mendukungnya,” tutur Aulia.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah melalui Kemnaker membentuk tim teknis yang terdiri atas unsur pekerja 15 orang, Apindo/Kadin 15 orang, dan unsur pemerintah 25 orang.
Aulia menganggap pembentukan tim teknis itu sebagai salah satu bentuk kecurangan pemerintah. Ia menilai tim tersebut hanya digunakan sebagai alat legalitas demi memuluskan RUU Omnibus Law.(hsn)