
Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Selasa ( 23/2/2021) lalu, menimbulkan kritik publik terkait kerumunan di Provinsi tersebut.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan perlu diadakan forum khusus (previligiatum) untuk bisa mengadili Presiden Joko Widodo. Adapun langkahnya adalah dengan melalui tindakan politik ketatanegaraan.
“Kalau untuk Presiden, proses politik dulu baru proses hukum, namanya forum khusus atau previligiatum,” ujar Feri, Kamis (25/2/2021).
Feri menjelaskan penegak hukum bisa menindak langsung Jokowi sebagai individu yang telah melanggar undang-undang, seperti yang terjadi pada tokoh utama FPi Habib Rizieq Shihab. Menurutnya Jokowi bisa memilih membayar denda sehingga tidak perlu dipenjara.
Sementara Koalisi Masyarakat Antiketidakadilan melaporkan Jokowi ke Bareskim Polri atas dugaan pelanggaran terhadap Pasal 93 Undang-Undang Kerantinaan Kesehatan.
“Kerumunan yang terjadi dalam kunjungan kepresidenan di Maumere, NTT dalam situasi pandemi Covid-19 atau PPKM, saat ini nyata-nyata melanggar protokol kesehatan dan diduga kuat telah melakukan tindak pidana pelanggaran kekarantinaan,” ungkap salah satu anggota Koalisi, Kurnia.
Kurnia menegaskan pemerintah sering mengatakan bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Namun ia juga merasa kecewa dengan pihak kepolisian karena telah menolak laporan tersebut.
“Dengan tidak diterbitkannya laporan polisi atas laporan kami, kami mempertanyakan azas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) apakah masih ada di republik ini,” ujarnya.
Disisi lain relawan Covid-19 dr Tirta Mandira Hudi angkat bicara terkait kerumunan tersebut. Menurutnya sebagai kepala negara sosok Jokowi berpotensi menarik antusias massa.
“Presiden Jokowi itu sejatinya simbol negara kemanapun beliau pergi pasti menarik massa,” kata Tirta pada unggahan video di Instagram pribadinya.
Membludaknya massa saat Presiden Jokowi berkunjung tidak bisa terbendung, sebab mereka datang secara spontan. Ia menilai tidak relevan jika kerumunan tersebut dikenakan sangsi.
“Presiden sudah mengapresiasi dan mengedukasi agar tetap pakai masker. Terlalu banyak kerumunan hadir membuat presiden tidak bisa membubarkan,” jelas dr. Tirta.
Meskipun begitu dr. Tirta menyorot pada ketidaksiapan tim protokoler Presiden dalam mengantisipasi agenda kerja yang berpotensi menimbulkan kerumunan. (sari)