
Konflik Palestina-Israel selama ini lebih banyak dibahas dalam perspektif hubungan internasional. Meski demikian, sebagai sengketa antar negara, konflik ini juga kental dengan sejarah. Beberapa fakta sejarah ini kemudian memicu konflik berkepanjangan antara bangsa Palestina dan imigran Yahudi.
Dikumpulkan dari berbagai sumber, kronologi sejarah terjadinya kependudukan Israel adalah sebagai berikut:
Periode Awal
Pada saat proses dekolonisasi pasca Perang Dunia II, wilayah sengketa (Palestina) secara keseluruhan berada dibawah Inggris (British Mandate for Palestine 1920-1948). Ini berarti rakyat Palestina berhak atas penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk merdeka dari Inggris.
Tepat pada tanggal 2 November 1917,Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat yang hanya berisi 67 kata itu berdampak pada nasib bangsa Palestina hingga saat ini. Surat tersebut menjadi dasar pernyataan resmi negara Inggris untuk mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina dan memfasilitasinya. Deklarasi ini kemudian dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Selama periode 1917-1948, Inggris memfasilitasi migrasi massal orang Yahudi dari Eropa, terutama di era gerakan Nazi yang terjadi pada 1933-1945. Pada awal periode pendudukan, pemukim Yahudi mulai merasakan perlawanan dari warga Palestina akibat sikap Inggris yang terus-menerus melakukan penyitaan tanah mereka untuk diserahkan kepada pemukim Yahudi.
Inggris sebagai pemegang mandat Palestina, enggan menengahi konflik antara bangsa Arab dan Yahudi di wilayah itu. Inggris kemudian menyerahkan persolan ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sejak 1948 menyatakan berhenti sebagai pemegang mandat negara Palestina.
Tangan Besi Inggris
Meningkatnya konflik dari tahun 1936 hingga 1939 memicu reaksi keras bangsa Palestina. Pada April 1936, warga Palestina bersikap keras dengan tidak pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan menolak pemukiman imigran Yahudi.
Pemogokan yang berlangsung selama enam bulan itu menjadikan bangsa Palestina harus menghadapi tangan besi dan ditindas secara brutal oleh Inggris. Inggris melakukan tindakan penangkapan massal dan penghancuran rumah warga Palestina. Gerakan perlawanan ini sering disebut oleh media Barat sebagai gerakan pemberontakan fase pertama bangsa Palestina.
Hal sama juga diteruskan oleh penjajah baru Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.
Perlawanan berikutnya dilakukan oleh para petani Palestina pada akhir tahun 1937. Gerakan petani Palestina melawan penindasan Inggris ini kerap disebut Barat sebagai pemberontakan fase kedua.
Perlawanan petani Palestina juga disikapi secara brutal oleh Angkatan Darat Inggris dan Kepolisian Palestina. Mereka mengintimidasi warga Palestina untuk dan melemahkan dukungan rakyat terhadap para petani.
Mengutip Wikipedia, data resmi mencatat tentara dan polisi Inggris membunuh lebih dari 2.000 warga Palestina, 108 orang digantung dan 961 orang tewas karena eksekusi dengan tuduhan terlibat kegiatan “geng dan teroris”.
Dalam versi lain, seorang data analis bernama Walid Khalidi memperkirakan 19.792 korban jiwa di pihak Palestina. Walid juga menyebut, diperkirakan sepuluh persen populasi pria Arab Palestina berusia antara 20 dan 60 tahun terbunuh, terluka, dipenjara, atau diasingkan. Sementara, menurut walid, jumlah orang imigran Yahudi yang terbunuh hanya beberapa ratus jiwa.
Hal yang sama juga dilakukan Israel terhadap warga Palestina hingga sekarang.
Aksi Bumi Hangus dan Genosida
Pada pertengahan tahun 1939, Inggris mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan serta pembunuhan massal warga Palestina dilakukan oleh tentara Inggris.
Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata yang beranggotakan pemukim Yahudi bernama “Pasukan Malam Khusus” yang dipimpin Inggris.
Senjata diimpor secara diam-diam, pabrik senjata pun didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel.
Serentang tiga tahun melawan penjajah, setidaknya 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan.
Hal yang sama masih dialami warga Palestina pada hari ini, di negeri sendiri.
Korban Wanita dan Anak-anak di Hari Nakba
Sebelum Mandat Kekuasaan Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, paramiliter Israel besutan Inggris sudah memulai aksinya dengan menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina secara membabi buta. Aksi ini bertujuan untuk mempersiapkan wilayah Israel yang akan segera lahir.
Lebih dari 100 pria, wanita dan anak-anak Palestina dibunuh di desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem di bulan April 1948. Data mencatat, serentang tahun 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, kota kecil dan besar di Palestina dihancurkan oleh penjajah Inggris dan pemukim Yahudi.
Pembantaian besar-besaran oleh Inggris dan imigran Yahudi telah menewaskan lebih dari 15.000 jiwa warga Palestina. Korban tersebut termasuk wanita dan anak-anak Palestina.
Aksi penjajah ini merubah peta demografis karena pemukim Yahudi berhasil menguasai 78% wilayah Palestina. Sisanya yang sebesar 22% dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.
Diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka. Saat ini keturunan mereka hidup sebagai 6 juta pengungsi di 58 kamp pengungsi di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania dan Mesir.
Pada 15 Mei 1948, Israel mengumumkan deklarasi pendiriannya negara Israel. Tanggal pendirian negara berlumur darah itu kemudian di sebut oleh warga Palestina sebagai Nakba, atau “bencana” dalam bahasa Arab.
Keesokan harinya, perang Arab-Israel pertama dimulai. Pertempuran berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah.(hsn)