ISIS, Publikasi Sebagai Oksigen Terorisme (2)

    Penulis: Umar Husain

    Media Mainstream Bantu Propaganda ISIS

    ISIS menggunakan media digital sebagai mesin propagandanya. Dalam sebuah artikel bertanggal 4 Maret 2015, Kementerian Kominfo RI mengatakan bahwa kaum muda menjadi radikal atau bahkan bergabung dengan kelompok militan melalui ajakan di media sosial. Sejak kemunculannya, ISIS menggunakan media sosial untuk menarik perhatian anak-anak muda.

    Baca Juga:

    Hingar bingar media utama dunia, termasuk Indonesia juga membantu memuluskan ‘target’ mesin propaganda ISIS. Berapa kali media barat menggaungkan secara serentak kejadian-kejadian dengan framing sebagaimana yang diinginkan oleh gerombolan teroris itu.

    Jonathan Matusitz, seorang profesor Ilmu Komunikasi dari University of Central Florida (UCF) mengatakan dalam bukunya ‘Terorisme dan Komunikasi’ (2013) bahwa ‘publikasi merupakan oksigen terorisme’. Teori profesor anti Islam itu tampaknya diadopsi dan diterapkan secara optimal oleh ISIS.

    Jurnalis Bongkar Kebohongan Media Barat

    Jurnalis perempuan independen asal Kanada Eva Bartlett membongkar kebohongan media Barat dalam konflik Suriah pada sebuah jumpa pers di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    “Saya sudah sering ke Kota Homs, Maaloula, Latakia, dan Tartus lalu ke Aleppo, empat kali. Rakyat Suriah mendukung pemerintahnya dan itu adalah kebenaran. Apa pun yang kalian dengar dari media Barat justru kebalikannya,” kata Bartlett, seperti dilansir Russia Today, Rabu (14/12/2016).

    “Apa yang kalian dengar dari media Barat, BBC, Guardian, the New York Times, dan seterusnya, tentang apa yang terjadi di Aleppo bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya,” ujarnya.

    Berita-berita dari media mainstream, kata Bartlett, sengaja menyampaikan berita bohong tentang apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Mereka menjelek-jelekkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.

    “Organisasi-organisasi itu mengandalkan laporan dari Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) yang bermarkas di Coventry, inggris, yang dikelola oleh satu orang. Mereka (media Barat) juga mengandalkan helm Putih (White Helmet). Organisasi kemanusiaan yang didirikan oleh mantan militer Inggris dan didanai jutaan dolar oleh Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Barat,” ungkap Bartlett.

    Media Indonesia Mengikuti Media Mainstream

    ISIS rupanya membaca peta arus informasi media Indonesia yang cenderung mengikuti media barat. Gerombolan teroris itu kemudian memanfaatkan ‘corong’ media barat sebagai penyampai pesannya ke Indonesia. Berapa banyak berita-berita media Indonesia yang ikut mengecam Bashar al-Assad dan mengatakan presiden pilihan rakyat Suriah itu sebagai diktator.

    Artikel di Kompas.com bertanggal (07/11/2016) dengan judul “Assad Tertawa Saat Ditanya Soal Banyak Anak Suriah Tewas” contohnya. Tanpa perlu repot membaca artikel, ‘cetakan’ framing sudah dihasilkan saat membaca headline. Tempo jugan memuat artikel pada tanggal 1 Maret 2018 dengan judul ‘4 Persamaan Kim Jong Un dan Bashar al Assad Yang Jarang Diketahui’, pada lead artikelnya, Tempo menyebutkan, “Berikut 4 kesamaan dari 2 yang dijuluki diktator”.

    Mengutip dari BBC, Jawa Pos memuat sebuah artikel pada Jumat, (4/5/2019) lalu. Artikel itu bertajuk “Ngerinya Siksaan di Penjara Syria Bikin Khaled Jadi Mesin Pembunuh”. Dalam artikel tersebut, Jawa Pos mengutip narasi tentang perlakuan petugas penjara pemerintah Suriah terhadap seorang tawanan bernama Khaled.

    “Ia bercerita mengenai seorang penyiksa barbar di Departemen Keamanan Pidana yang memaksanya untuk berlutut di hadapan foto Presiden Assad. “Tuhanmu akan mati, dan dia tidak akan mati. Tuhan mati, dan Assad bertahan,” kata Khaled menirukan perkataan penyiksanya.”. Sebuah framing ISIS yang selalu digembar-gemborkan melalui media barat.

    Disinformasi masif ini membuat banyak warga terpengaruh dan tergerak menjadi simpatisan dan bergabung bersama gerombolan teroris.(bersambung…)