
Penulis: Umar Husain
Hoaks Anne Frank dari Aleppo Timur (AFAT)
Beberapa tahun lalu, dunia goncang oleh sebuah berita dari Aleppo Timur, Suriah. Berita-berita media mainstream menceritakan seorang anak wanita berumur 7 tahun bernama Bana al-Abed bersama keluarganya berada dalam kondisi mencekam akibat bombardir tentara Suriah dan Rusia. Bana al-Abed kemudian mendapat ‘label’ Anne Frank dari Aleppo Timur akibat publlikasi hebat dari media.
Baca Juga:
Berita media mainstream itu kebanyakan bersumber dari sejumlah postingan akun Twitter bernama Bana Alabed yang baru berumur 3 bulan dan sudah diikuti oleh 300.000 follower. Cuitan di akun Twitter @AlabedBana menggambarkan kekejaman tentara pemerintah Suriah dan Rusia terhadap anak-anak.
Akun itu masih aktif hingga sekarang. Pada tanggal 26 Mei 2019 lalu, Bana mentwit, “The bloodshed in Syria continues. To be honest it feels so hopless,” tulisnya sambil menyisipkan gambar seorang bocah wanita berlumuran darah.
https://platform.twitter.com/widgets.jsThe bloodshed in Syria continues. To be honest it feels so hopless😭. pic.twitter.com/ld6VpM4qJ4
— Bana Alabed (@AlabedBana) 26 Mei 2019
Aktivis pro pemerintah Maytham Al Ashkar asal Al-Zahraa di Suriah utara, menawarkan diri untuk membantu Bana dan keluarganya dan menghubungi akun Twitter Bana pada 27 November 2016. Namun pesan Maytham baru dibalas oleh seseorang yang mengaku sebagai ‘ibu’ Bana setelah satu bulan berselang.
“Apa yang terjadi selanjutnya, meyakinkan saya bahwa akun Bana adalah alat propaganda,” kata Maytham kepada Sputnik, Jumat (16/12/2016).
“Saat saya dihubungi oleh akun Bana, saya mulai berbicara dalam bahasa Arab karena kami semua orang Suriah dan bahasa Arab adalah bahasa ibu kami. Meski demikian, jelas bahwa orang di balik akun tersebut lebih memilih bahasa Inggris sebagai bahasa untuk berkomunikasi,” tutur Maytham.
Menurut media, ayah Bana, Ghassan, bekerja di “departemen legal dewan lokal” dan sang ibu, Fatemah, adalah seorang guru. Meski demikian, tampaknya ketidakkefasihan bahasa Arab dari pihak ibu Bana adalah sama tidak mungkinnya seperti bahasa Inggris Bana yang tanpa cela.
“Menurut media, ibu Bana belajar ilmu hukum. Ini berarti ia telah belajar kurikulum Suriah selama 12 tahun yang semuanya dalam bahasa Arab, ditambah empat tahun di universitas yang seluruh mata kuliah disampaikan dalam bahasa Arab,” jelas Maytham kepada Sputnik.
“Tidak ada hal-hal sebagaimana cuitan Bana ini. Anak ini hanya sebagai topeng. Sebuah alat yang digunakan intelijen Inggris. Saya mengatakan Inggris karena hubungan yang erat antara akun Bana dengan White Helmets, yang didanai dan disponsori Inggris,” ungkap aktivis Suriah Maytham.
Pada akhirnya, Bana mengatakan bahwa Maytham terlalu “terburu-buru” dan menolak tawaran bantuan tersebut.
Membongkar Hoaks AFAT
Seorang doktor di bidang Hubungan Internasional, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies Dr. Dina Y Sulaeman berhasil membongkar hoaks AFAT. Dia mampu mengungkapkan hubungan ganjil antara Bana dengan tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam narasinya. Pengamat Timur Tengah itu bahkan sempat mengirimkan email kepada sebuah media nasional yang sempat menarasikan AFAT dan mengungkap hoaks terkait artikel berita yang pernah dimuat di media itu.
Dalam emailnya Dina mengatakan, Majalah Tempo edisi 19-25 Desember 2016 memuat artikel berjudul “Anne Frank dari Aleppo Timur” (AFAT). Artikel tersebut ditulis Sita Planasari dengan sumber The Star,The Telegraph, The New York Times. AFAT bercerita tentang seorang anak usia 7 tahun, Bana Alabed yang secara sangat aktif bercuit di Twitter, menceritakan bahwa dia dan keluarganya dalam kondisi gawat karena dibombardir terus oleh tentara Suriah dan Rusia.
Sebagai sebuah media yang dikenal hebat dalam investigasi, artikel AFAT seharusnya juga didasari dengan investigasi online yang lebih lincah. Sejak dari kalimat pertama, penulis seharusnya sudah memiliki kecerdasan untuk mengendus keanehan, mengapa Bana Al Abed yang baru berusia 7 tahun sudah memiliki 200.000 [sekarang bahkan lebih dari 300.000] follower di Twitternya? Dengan sedikit mengecek, akan ketahuan bahwa akun Twitter Bana baru dibuat pada September 2016.
Follower pertama Bana adalah jurnalis Aljazeera, Abdul Aziz Ahmed. Pengecekan di akun Facebook dan Twitter keluarga Bana memperlihatkan bahwa ayah dan ibunya adalah anggota kelompok militan. Kata “militan” adalah eufemisme, karena cara-cara beroperasi mereka bersifat terorisme.
Bana juga pernah berfoto dengan jurnalis Hadi Abdallah (foto mereka dimuat di akun Al Jazeera). Pengecekan foto-foto lain menunjukkan Abdallah kedapatan berpose bersama pasukan Al Nusra dan salah satu pimpinan pasukan teror di Suriah, Abdullah al-Muhaysini (asal Saudi); bahwa anggota keluarga Bana juga pernah berfoto akrab dengan Mahmoud Rslan, fotografer Omran Daqneesh (si “bocah di kursi oranye”).
Dan Rslan pun kedapatan berpose riang dengan Norouddin Zinki yang menggorok leher bocah Palestina, Abdullah Isa, sambil tertawa di depan kamera. Dari jejaring Bana ini terlihat bahwa Bana berasal dari kelompok militan sehingga menjadikannya satu-satunya ‘narasumber’ dalam tulisan soal Aleppo sama sekali tidak valid.

Kalau kita mengamati cuitan-cuitan Bana, sulit diterima, bagaimana anak usia 7 tahun menulis kalimat, “Dear world, it’s better to start 3rd worldwar instead of letting Russia and Assad commit #HolocaustAleppo.” Barbara McKenzie dalam artikel panjangnya menganalisis Bana, menyebutkan bahwa hanya dalam dua hari pertama sejak cuitan pertama 24 September, Bana sudah membuat tagar #Aleppo, #HolocaustAleppo #MassacreInAleppo #StopAleppoMassacre. McKenzie menyimpulkan, kemahiran Bana memanfaatkan tagar-tagar yang efektif menarik perhatian masyarakat di Barat menunjukkan bahwa dia dibimbing oleh ahli sosial media.
Kalau saja penulis AFAT menengok video Bana akan terlihat bahwa Bana tidak lancar berbahasa Inggris. Jelas dia membaca sebuah script dengan terbata-bata. Selain itu, mata ibu-ibu biasanya akan cepat menangkap, dalam salah satu videonya, Bana dan adik-adiknya menggunakan baju dan sepatu yang benar-benar baru. Wow, bukankah mereka katanya 3 tahun ‘terjebak’ di Aleppo timur yang konon dibombardir setiap hari oleh Assad?
Kecanggihan bahasa Inggris Bana pun diakui oleh New York Times. “Her messages are sophisticated for a 7-year-old, for example, particularly for one whose native language is not English.” (The New York Times 7/12/2016). Di artikel yang sama, disebutkan, “International aid advocates have expressed mixed feelings about Bana’s fame —satisfaction that she has increased global sympathy for child victims in Syria, but concern that her story, as presented on Twitter, may not be entirely accurate.”
Sepertinya penulis AFAT sudah menangkap kejanggalan ini, dan berusaha menjawabnya dengan kalimat, “Terus-terang Fatemah masih membantu Bana untuk menulis kalimat dalam Bahasa Inggris.” Kalau begitu, siapa Anne Frank yang dimaksud sang penulis? Bana atau ibunya?
Maytham telah mengontak SAA (tentara Suriah) dan Gubernur Aleppo, dan mendapatkan jaminan perlindungan penuh untuk Bana dan keluarganya agar keluar dari Aleppo timur. Juga ada jaminan amnesti kepada ayah Bana sebagai anggota kelompok militan. Namun setelah upaya panjang Maytham untuk menolong, pihak Bana menolak dievakuasi. Fatemah rupanya lebih percaya pada Obama dan menulis cuitan yang ditujukan kepada sang POTUS, “Apakah kami dapat dibantu keluar dari sini?”
Penulis AFAT berusaha meyakinkan pembaca bahwa Bana adalah tokoh riil (“Buktinya, dia mau diwawancarai CNN,” kata si penulis). Padahal persoalannya bukan di tokoh riil atau tidak, tetapi sahih atau tidak cerita yang sedang dibangun oleh akun Bana.
Seandainya penulis AFAT lebih sensitif, hal ini sangat terkait dengan kejahatan pemanfaatan anak kecil dalam perang.
“Bahkan anak teroris pun punya hak untuk memilih,” kata Carla Ortiz dalam wawancaranya dengan CNN. Seharusnya mereka tidak boleh dimanfaatkan oleh orang tuanya untuk propaganda perang.
Carla Ortiz berada di Aleppo saat proses pengambilalihan wilayah timur oleh tentara Suriah dan menyaksikan sendiri proses evakuasi para warga. Menurut Ortiz, selama dia di ‘garis depan’ bersama wartawan dari AS dan Inggris, mereka sama sekali tidak bisa mengirim Tweet, karena tidak ada jaringan internet. Carla bahkan ‘menantang’, dia ingin melihat rekaman video yang benar-benar memperlihatkan bahwa Bana sedang dievakuasi dari Aleppo timur. Tiba-tiba saja, keluarga Bana berfoto bersama Erdogan dan istrinya di Turki dalam keadaan segar bugar (dan perut gendut ayahnya tak bisa disembunyikan).

Sejak September 2016, media-media mainstream, termasuk juga berbagai jaringan channel televisi dunia, dengan cepat menyebarkan berita tentang Bana tanpa melakukan verifikasi yang selayaknya. Dan menyedihkan, Tempo yang selama ini canggih melakukan investigasi, menerima mentah-mentah cerita ini.
Kita semua berduka untuk anak-anak korban perang Suriah. Masyarakat dunia harus berupaya menghentikan perang agar anak-anak itu bisa kembali hidup normal seperti sebelum masa perang. Namun cara membantunya tentu bukan dengan menjadi corong propaganda global media arus utama dunia yang tengah melakukan PR campaign untuk sebuah agenda penggantian rezim.
Sedikit pengetahuan tentang modus ‘humanitarian intervention’ akan membantu kita untuk memahami bahwa cuitan-cuitan Bana (atau ibunya, atau siapapun yang ada di balik akunnya) jelas bertujuan agar negara-negara Barat segera membombardir habis Suriah hingga Assad terguling (sebagaimana yang telah dilakukan Barat di Irak dan Libya).
Dina Y. Sulaeman, doktor di bidang Hubungan Internasional, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies
(bersambung…)