IJCR: Sanksi Pidana Penanggulangan COVID-19 Semerawut dan Diskriminatif

IJCR: Sanksi Pidana Penanggulangan COVID-19 Semerawut dan Diskriminatif
Gambar ilustrasi

Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah menghentikan promosi penggunaan sanksi pidana bagi penggunaan aplikasi Peduli Lindungi. ICJR berpendapat seharusnya pemerintah mulai menerapkan kebijakan insentif untuk merangsang masyarakat menggunakan aplikasi tersebut. Lembaga riset di bidang hukum ini juga menilai sanksi pidana penanggulangan COVID-19 diterapkan secara semrawut dan diskriminatif.

Peneliti di IJCR, Genoveva Alicia menyebut bahwa pada tanggal 21 Desember 2021, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan akan mengeluarkan edaran yang menginstruksikan kepala daerah mengeluarkan peraturan kepala daerah (Perkada) mengenai penegakan penggunaan aplikasi PeduliLindungi di ruang publik. Perkada ini nantinya akan menjadi dasar penerapan sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang tidak menggunakan aplikasi PeduliLindungi.

Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri menyatakan perkada ini juga akan mengikat masyarakat. Lebih lanjut, dirinya menginstruksikan bahwa setelah periode Natal dan Tahun Baru, pemerintah daerah dapat menaikkan status Perkada menjadi Peraturan Daerah (Perda). Hal ini bertujuan agar sanksi selain administratif dapat diterapkan termasuk sanksi pidana.

“Hal ini merupakan kesalahan yang lagi-lagi dilakukan pemerintah, yang terus mempromosikan penggunaan ancaman sanksi pidana untuk menjamin kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19,” kata Genoveva Alicia melalui keterangan tertulis, Kamis (22/12/2021).

“ICJR kembali mengingatkan, bahwa proposal untuk menggunakan sanksi pidana harus dipikirkan dengan matang, seksama dan proporsional,” imbuhnya.

Menurut Genoveva, penggunaan sanksi pidana untuk penanggulangan COVID-19 selama ini menunjukkan kesemerawutan dan diskriminatif. ICJR menilai sejumlah tindakan bersifat merendahkan dan menghukum, seperti penyiraman usaha kaki lima dengan fasilitas milik Pemadam Kebakaran (DAMKAR), diterapkan tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan tidak prporsional antara pelanggaran dengan sanksi yang diberikan.

Genoveva menerangkan, disproporsional ditemukan terjadi kepada pedagang-pedagang skala menengah hingga kecil atau bahkan pedagang kaki lima apabila dibandingkan dengan pelaku usaha skala besar, ataupun antara masyarakat biasa dengan masyarakat dengan profil tertentu.

“Keberadaan sanksi pidana yang terus dipromosikan justru akan menimbulkan praktik-praktik diskriminasi dan tidak menyelesaikan masalah kepatuhan yang ingin diintervensi oleh pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, ICJR juga menyarankan pemerintah untuk mulai memikirkan peluang-peluang insentif yang dapat menstimulus kepatuhan masyarakat tanpa perlu menyebarkan ancaman. Menurutnya, sikap keras pemerintah terbukti menimbulkan kesewenangan kepada rakyat menengah ke bawah yang minim akses keadilan.

“Jangan sampai penggunaan ancaman pidana diartikan sebagai bentuk frustasi dan ketidakmampuan pemerintah dalam menata kelola masalah dalam masyarakat,” cetusnya.

Atas hal tersebut, ICJR menyerukan supaya pemerintah menghentikan promosi penggunaan sanksi pidana. Selain itu, ICJR juga meminta agar wakil rakyat di DPR dan DPRD untuk melakukan kritik atas proposal penggunaan sanksi pidana dari pemerintah dan menuntut evaluasi penggunaan sanksi protokol kesehatan dari Pemerintah. Lembaga ini juga meminta pemerintah menghadirkan kebijakan insentif untuk mendorong kepatuhan protokol kesehatan.(hsn)