
Jakarta, 5NEWS.CO.ID,- Pegiat medsos pengusung khilafah Felix Siauw menyalahkan pemerintah terkait program deradikalisasi. Dengan istilah yang dia sebut dengan ‘penguasa’, eks aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tersebut menyebut pemerintah sedang melakukan proses deIslamisasi (penghapusan nilai-nilai Islam) berkedok deradikalisasi (anti radikalisme).
Baca Juga:
Sebuah postingan bertema curhat diunggah Felix Siauw di akun Facebook miliknya @UstadzFelixSiauw, Sabtu (3/8/2019). Dalam tulisannya berjudul ‘Males Mikir, Salahin Yang Lain Aja’, Felix mencoba menggunakan isu Front Pembela Islam (FPI) untuk melepaskan sejumlah tudingannya kepada pemerintah.
Felix mengaku tak kaget mendapati ormas FPI yang dia anggap dipersulit oleh pemerintah. Ia menuding pemerintah sedang menjalankan sebuah proses yang disebutnya dengan deislamisasi. Menurutnya, proses itu dijalankan dengan dalih deradikalisasi.
Dalam tulisannya, Felix juga menganggap pemerintah sebagai satu-satunya pihak ‘penafsir tunggal’ terkait siapa yanmg radikal dan siapa yang tidak. Dia menyebut penguasa dan alat-alatnya merupakan satu-satunya pihak yang memberi label radikal, anti-NKRI dan anti-Pancasila.
Pengusung khilafah itu bahkan mengatakan label tersebut digunakan seenaknya oleh pihak yang dia sebut sebagai ‘penguasa dan alat-alatnya’ bagi siapapun yang berbeda.
“Tak usah tanya korupsi, kolusi, nepotisme, etika politik, cukup teriak “Biang masalah negeri adalah radikalisme dan Hatei”, anda langsung bebas berbuat apapun,” kata Felix.
Lebih lanjut, dalam upayanya membangun opini bahwa pemerintah sedang memusuhi Islam, Felix mencoba menyamakan Ormas FPI mewakili pemeluk agama Islam se-Indonesia yang lebih kurang berjumlah 207 juta.
“Dari dulu Islam itu sumber kekuatan Indonesia, bukan musuh. Tapi kalau nekat menjadikan gerakan Islam semisal Efpei menjadi musuh, ya itu juga pilihan. Terus-terusno,” ujar dia.
Berikut postingan lengkap Felix Siauw:
Males Mikir, Salahin Yang Lain Aja
Saya nggak kaget ketika Efpei dipersulit oleh penguasa saat ini. Saya menduga keras, de-radikalisasi yang digaungkan penguasa, sebenarnya de-Islamisasi. Dan Efpei termasuk yang teguh dengan Islam
Sayangnya, tafsir siapa yang radikal dan siapa yang tidak, hanya ada pada penguasa dan alat-alatnya. Label radikal, anti-NKRI, anti-Pancasila, seenaknya dipakai untuk siapapun yang berbeda
Untuk mencapai keinginan mereka itu, isu khilafah harus dibuat lebih mengerikan dari komunis. Hatei harus ditakuti lebih daripada Pekai, agar bobrok dan borok penguasa tak dilihat
Maka tak perlu lagi berilmu, tak perlu keahlian, tinggal bilang “Hatei itu lebih dari Pekai, Khilafah itu makar bagi NKRI”, anda langsung bisa dapat gelar Pemerhati Radikalisme
Tak usah tanya korupsi, kolusi, nepotisme, etika politik, cukup teriak “Biang masalah negeri adalah radikalisme dan Hatei”, anda langsung bebas berbuat apapun
Pelan-pelan, inilah yang menyebabkan kemalasan berpikir di Indonesia, masalah apapun sebabnya “radikalisme (Islam), Khilafah, Hatei”, udah salahin aja, nggak usah mikir
Efeknya, akal jadi malas cari solusi, selain slogan dan teriakan “NKRI harga mati”, “Indonesia Final”, dan sebagainya. Sebab merasa tak punya masalah, semua baik-baik saja
Di sisi lain, bukan hanya pemain bola yang naturalisasi, rektor juga mau begitu, setelah sebelumnya teknologi dan buruh kita impor, kok nggak ada yang bicara kedaulatan?
Hancurnya sistem demokrasi, pertunjukan yang memuakkan para politisi, belum lagi kampanye anti-syariat seperti miras, eljibiti, dan sebagainya, dianggap wajar
Balik lagi ke Efpei, bukankah seharusnya kita bangga, ada yang membantu kinerja penguasa? Kasus bencana alam, kerusakan sosial, yang mereka besar sekali sumbangsihnya?
Kapan kita mau jujur dan mau adil? Atau mau tetap mencari legitimasi dari kesalahan? Sebab hanya anak kecil yang selalu menyalahkan orang lain sebab kelemahannya sendiri
Dari dulu Islam itu sumber kekuatan Indonesia, bukan musuh. Tapi kalau nekat menjadikan gerakan Islam semisal Efpei menjadi musuh, ya itu juga pilihan. Terus-terusno.
.(hsn)