
Oleh Ahmad Alief
Kita yang biasa berjalan diatas tanah, pasti berbeda ilmu soal tanah dengan petani yang menggali tanah untuk bercocok tanam.
Ilmu petani soal tanah akan berbeda dengan mereka para arkeolog saat menggali tanah; eskavasi untuk menemukan tinggalan sejarah.
Arkeolog pastinya berbeda pandangan dengan penggali sumur saat mereka berjibaku untuk menemukan sumber air.
Penggalian sumur beda tujuan dengan pencari sumber kinyak bumi dan sisa fosil yang menjadi sumber energi dan logam mulia di kedalaman bumi.
Begitulah ilmu dan kehidupan, Alquran dan Islam kita, manusia dan kenabian, Pencipta, Tuhan Sang Maha. semua berlapis dan bertingkat. Bertumpuk dalam lapisan, bukan sekedar kulit dan sampul depan apalagi hanya sekedar tampilan luar.
قُلۡ كُلࣱّ یَعۡمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَنۡ هُوَ أَهۡدَىٰ سَبِیلࣰا. [سورة الإسراء 84]
Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.
وَیَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّی وَمَاۤ أُوتِیتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِیلࣰا. [سورة الإسراء 85]
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.”
Yang kita ketahui hanya kemasan dan serba sedikit. Hanya tampilan luar dan pakaian penutup untuk menutupi kejahilan dasar.
Kedalaman milik mereka yang mensucikan diri, dan dekat dengan kesucian. Intinya inti milik mereka yang menenangkan hati jauh dari ego, kesombongan dan keserakahan diri. Lapis demi lapis rahasianya akan tersingkap sejalan dengan terbukanya aib diri dan kesadaran hinanya diri di hadapan Sang Maha Sempurna.
Jangan berpuas dengan capaian sekarang, karena hanya permukaan dan baru permulaaan. Jangan membatasi diri dengan apa yang kini dirasakan atau mungkin merasa dimiliki, karena pasti kita sudah membatasi diri. Membatasi diri artinya kita enggan bergerak lebih jauh dan lebih dalam, padahal di kedalaman tersimpan harta terpendam yang lebih berharga dari harta kekayaan, yaitu harga diri manusia sebagai hamba, hamba sebenarnya bukan hamba selainNya.
Nabi Muhammad diutus agar kita seperti hakikat dirinya, bukan posisi mulianya yakni nabi dan rasul. Namun agar kita menjadi hamba Allah, sebab posisi tinggi beliau adalah ‘Muhammadun Abduhu..’ baru warasuluhu.’
Meski tampilan luar perlu, juga pakaian bagus harus dikenakan, namun jangan berhenti di permukaan saja. Melangkah lebih dalam lagi, setapak demi setapak, kemudian selangkah dan akhirnya berlari menuju posisi kedekatan denganNya.
Qorbun ilallah, agar karib. Selalu melekat, lengket tanpa sekat. Menyatu dalam satu tarikan nafas, sedekat dengat denyut nadi. Sehingga tiada gerak kecuali atas kehendakNya. Tiada keinginan diluar keinginan Sang Maha Ingin.
Dengarlah rintihan sang ahli Sujud dalam munajatnya:
“Ya Allah berilah aku cintaMu, cinta kepada orang-orang yang mencintaiMu, dan cinta kepada semua amalan yang mengantarkanku pada kedekatan denganMu. Dan jadikan cintaku padaMu sebagai pembimbing menggapai ridhoMu.” (Munajat para pecinta, Imam Ali Zainal Abidin)